Nasional

PBB Bisa Jadi Pemegang Otoritas dalam Fiqih? Ini Jawabannya

Sen, 6 Februari 2023 | 20:57 WIB

PBB Bisa Jadi Pemegang Otoritas dalam Fiqih? Ini Jawabannya

Anggota Lembaga Bahtsul Masail PBNU Nyai Hj Iffah Umniati Ismail saat memberikan tanggapan pada Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2/2023). (Foto:LTN PBNU/Gino)

Surabaya, NU Online

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi organisasi pemersatu antarnegara bangsa. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah organisasi PBB ini dapat menjadi pemegang otoritas secara hukum Islam?


“Apakah organisasi ini memiliki basis yang bisa disetujui dalam syariat Islam? Jawaban saya, iya. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits yang mendukung,” kata Nyai Hj Iffah Umniyati Ismail, Anggota Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), saat memberikan tanggapan pada Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2/2023).


Kemudian, ia juga mencari letak teks suci beserta cabang hukum yang muncul dari teks suci itu dengan mengikuti dan memanfaatkan warisan intelektual fiqih Islam. Hal ini bukan sekadar kutip-mengutip langsung atau memindahkannya pada realitas. “Melainkan mengutip dengan mempertimbangkan jarak realitas kita dan mereka,” katanya.


Selain itu, Nyai Iffah juga memandang hukum syar’i bisa dibedakan menjadi dua, yakni hal yang konstan (tetap) dan yang bersifat variabel atau mengalami perubahan dan memerlukan ijtihad. Perubahan tersebut diketahui melalui upaya terus-menerus untuk mengukur jarak antara realitas saat ini dan sebelumnya. Ketika kita hendak melakukan ini, katanya, kita kembali ke ilmu ushul fiqih.


Para ulama zaman dahulu meneladankan cara penyelesaian melalui metode fiqih dengan cara yang beragam. "Masing-masing mazhab mengembangkan pendapat fiqih sesuai zamannya," tambahnya.


Dari keterangan di atas, Nyai Iffah menegaskan bahwa salah satu jalan yang paling mudah dalam mengakses pengetahuan masa lalu dan memproduksi pengalaman baru adalah taklid secara metodologis (taqlid manhaji). Dengan begitu, produksi hukum baru lebih leluasa diciptakan atas dasar itu.


Oleh karena itu, ia menerapkan metode induksi bahwa masyarakat saat ini telah beralih dari bentuk organisasi sosial yang berdasarkan kabilah ke nasionalisme. Saat ini, sudah tidak lagi ada satu ruang yang hanya dikuasai kabilah.


“Semuanya tunduk pada nasionalisme modern,” ujar perempuan yang menamatkan seluruh studi pendidikan tingginya di Fakutlas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.


Mengingat sudah menjadi adat istiadat yang umum, dan karenanya menjadi dalil itu sendiri sesuai dengan kaidah fiqih bahwa adat istiadat itu sudah jadi dalil.


Meskipun ada perbedaan antarnegara bangsa itu, urusan negara itu tetap sama, yaitu memerlukan sistem kontrol demi kemaslahatan.


Berdasarkan teori maslahah mursalah (kemaslahatan), maka PBB layak dijadikan sebagai otoritas karena berdiri untuk kepentingan kemaslahatan, harga diri manusia, kedamaian, dan keamanan.


“Maka boleh kita mengatakan bahwa organisasi itu sukses apabila kemaslahatan itu dapat terealisasi. Apabila tidak berhasil, maka yang kita lakukan adalah memperbaiki diri, bukan menghancurkan organisasi (PBB) yang ada itu,” katanya.


Dalam rangka ini, ia berharap penjelasannya sudah cukup menguraikan dan menjawab kekokohan PBB sebagai otoritas.


“Saya memulai argumentasi dari sumber primer Al-Qur'an, hadits, ijmak, dan sumber sekunder seperti maslahah mursalah. Memerlukan waktu yang lebih banyak lagi untuk menjelaskan secara komprehensif,” pungkas Nyai Iffah.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin