Nasional

PBNU Bahas Pentingnya Aktualisasi Konsensus Kebangsaan

NU Online  ·  Jumat, 13 Juni 2025 | 16:30 WIB

PBNU Bahas Pentingnya Aktualisasi Konsensus Kebangsaan

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (tengah) saat berbicara di Forum Kramat, di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (13/6/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

 

Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan bahwa konsensus bangsa yang telah disepakati pada tempo lalu perlu diaktualisasikan dengan realitas masa kini.

 

Sabab, menurutnya, masyarakat dengan dinamika sosialnya telah berkembang, meski akan diwarnai dengan benturan serta konflik. Karenanya, pada waktunya, lembaran sejarah akan memunculkan inisiatif melakukan konsolidasi sosial agar dapat menciptakan wahana-wahana kebersamaan.

 

"Seperti yang kita tahu semua, konsensus tentang dasar negara, konsensus tentang bentuk negara, konsensus tentang nilai dasar negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Maka Pendeta Jacky Manuputti membisikkan kepada saya bahwa konsensus kebangsaan yang awal mula itu adalah PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945, gitu," katanya dalam Diskusi Rutin Forum Kramat dengan tema Pentingnya Konsensus Kebangsaan di Lobi Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Salemba, Jakarta Pusat, pada Jumat (13/6/2025).

 

Terkait aktualisasi konsensus dengan konteks masa kini, Gus Yahya mengarahkan perhatian pada UUD 1945 yang sebenarnya memerlukan penjabaran-penjabaran lebih lanjut ke dalam bentuk yang lebih operasional.

 

"Misalnya, ada pasal yang mengatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan berpendapat diatur oleh UUD. Nah, diatur dengan UU itu atas dasar nilai apa? Itu belum ada rujukannya. Ya, kita punya UU ITE, UU macam-macam perizinan ini, perizinan itu, tapi rujukan nilainya apa? Belum ada kesepakatan tentang itu," jabarnya.

 

Gus Yahya mengatakan, dalam UU yang mengatur penjaminan hak warga negara dalam menjalankan peribadatan, ia menilai hal itu belum juga terjabarkan dengan baik, sehingga menyebabkan kasus-kasus konflik rumah ibadah.

 

"Ini bagaimana menjembatani atau mengelola perbedaan-perbedaan itu," kata Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.

 

Belum lagi, lanjut Gus Yahya, soal ekonomi yang disebutkan dalam UUD 1945, hanya menyebut perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan cabang-cabang produksi yang penting dan sifatnya dikuasai oleh negara untuk hajat hidup orang banyak.

 

"Tapi bagaimana misalnya dengan mi instan—mi instan yang, menurut saya, relatif sudah menguasai hajat hidup orang banyak. Siapa yang nggak makan mi instan hari ini? Atau, seperti misalnya produk-produk digital yang kita gunakan, ini seperti apa? Ini belum terjabarkan," katanya.

 

Alhasil, Gus Yahya menjelaskan bahwa ada langkah yang bisa diambil untuk menjawab tantangan kebangsaan saat ini. Langkah tersebut berupa penjabaran nilai-nilai dasar secara lebih operasional dalam kehidupan bermasyarakat.

 

"(Agar) kita ini, supaya macam-macam perbedaan yang muncul ini, ada saluran untuk menyelesaikannya sebagai jalan keluarnya. Ada, kayak kisi-kisi: ini harus diselesaikan melalui cara apa? Koridornya seperti apa?" jelasnya.

 

Selain itu, lanjut Gus Yahya, ada pula kebutuhan mendesak akan konsensus bersama mengenai etika, yaitu apa yang dianggap patut dan apa yang tidak patut dalam konteks etika publik. Hal-hal seperti ini, lanjutnya, belum dirumuskan secara jelas dan perlu menjadi perhatian bersama.

 

"Ini kita sangat butuh. Hal-hal semacam ini, saya kira, tidak cukup hanya kepada UU atau aturan hukum, karena aturan-aturan hukum itu jatuhnya lalu cenderung jadi lebih kepada koridor teknis yang dalam praktik sangat sering kemudian disiasati saja, tergantung kepentingan pelaku. Disiasati koridor ini supaya lolos dari pagar-pagar hukum teknis itu. Maka, tidak cukup," jelasnya.

 

Sementara itu, Ketum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) Pendeta Jacky Manuputty mengungkapkan ketakutannya akibat polarisasi yang berkembang, bahwa tradisi guyub atau rukun sebagai bangsa menjadi hilang.

 

"Dalam perjumpaan-perjumpaan seperti ini, banyak hal yang diangkat dalam suasana guyub dijadikan konsensus, atau mendorong untuk meresonansikan apa yang kita sebut sebagai konsensus," katanya.

 

Ia menceritakan kembali bagaimana risalah-risalah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dirumuskan. Meski ada perdebatan, suasana untuk saling terbuka terhadap ide-ide menjadikan konsensus tersebut terbentuk dengan baik.

 

Tak hanya itu, lanjutnya, krisis-krisis yang dihadapi saat ini tidak lagi seragam atau datang dari satu sumber yang sama, melainkan beragam, kompleks, dan saling berkelindan, antara ekonomi, sosial, teknologi, dan lingkungan.

 

"Karena itu menjadi sangat penting di dalam situasi suasana seperti ini, saya sangat setuju yang disampaikan (Gus Yahya): konsensus dibutuhkan," terangnya.

 

Diketahui, Forum Diskusi Kramat akan berlangsung secara rutin setiap hari Jumat, kecuali pada hari libur. Pada kesempatan tersebut, hadir pula Wakil Ketua Umum Ketua PBNU Amin Said Husni, Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla; Ishfah Abidal Aziz; Ahmad Suedy; Hasanudin Ali; serta Direktur Eksekutif Institute for Humanitarian Islam (IFHI) H Yaqut Cholil Qoumas.