PBNU dan Tambang: Dinamika Sikap NU dalam Satu Dekade
NU Online · Selasa, 24 Juni 2025 | 20:00 WIB
Suci Amaliyah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Dalam setahun, sejak PBNU menerima konsesi tambang ormas keagamaan, muncul beragam reaksi dari berbagai kalangan, tak terkecuali warga NU. Sebagian menyayangkan sikap PBNU yang bersedia mengelola tambang karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip menjaga lingkungan dan berpotensi merugikan masyarakat. Namun, ada pula yang mendukung penuh dengan harapan kemaslahatan.
Bagaimana sikap NU sejak dulu mengenai tambang? Isu ini bukan baru muncul ketika pemerintah memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan pada 2024.
Lebih dari satu dekade sebelumnya, sejak masa kepemimpinan KH Said Aqil Siroj, PBNU telah menyuarakan pandangan dan syarat etis dalam kerja sama pertambangan. Dari tuntutan keadilan bagi masyarakat sekitar tambang, penegasan soal bahaya kerusakan lingkungan, hingga perbedaan pendapat dengan warga NU akar rumput.
Tahun 2011, saat PBNU dinahkodai Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, ia mensyaratkan tiga hal kepada pemerintah agar melakukan reformasi kerja sama pertambangan dengan sejumlah perusahaan, terutama yang berasal dari luar negeri.
Tiga hal itu yakni eksplorasi pertambangan harus memperhitungkan pembagian keuntungan yang adil, rentang waktu eksplorasi yang ada batasnya, serta luasan lokasi pertambangan yang diatur dengan mempertimbangkan dampak-dampak untuk masyarakat di sekitarnya.
“Inti dari semua itu adalah bagaimana pemerintah tidak rugi dari kerja sama yang dilakukan. Jika pemerintah mendapatkan keuntungan lebih, pemanfaatannya bisa dikembalikan untuk mensejahterakan masyarakat, terutama yang ada di sekitar lokasi pertambangan itu sendiri,” ujar Kiai Said di kantor PBNU pada Rabu, 24 Agustus 2011, seperti dikutip dari artikel berjudul PBNU Syaratkan Tiga Hal Reformasi Kerjasama Pertambangan.
Saat melakukan kunjungan ke lokasi tambang biji besi milik PT Padak Mas Menteri Mineral di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 18 Januari 2012, Kiai Said meminta agar pengusaha pertambangan memberdayakan masyarakat lokal sebagai pekerja.
Langkah ini, katanya, untuk mengurangi risiko munculnya sengketa antara masyarakat dan pengusaha yang sering terjadi.
“Yang banyak terjadi di sekitar lokasi tambang, masyarakatnya justru hidup miskin. Jangan, itu jangan sampai terjadi di sini. Apalagi tambangnya orang NU, tambang milik Nahdliyin,” kata Kiai Said.
Pada tahun 2017, Kiai Said mengatakan sebanyak 90 juta warga NU mendukung beroperasinya pabrik Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah.
“PBNU sangat mendukung beroperasinya Semen Rembang asal untuk kepentingan rakyat,” ujarnya kepada wartawan di PBNU, Kamis (19/1/2017), seperti dilansir RMol.id dalam artikel berjudul Kiai Said: 90 Juta Warga NU Se-Indonesia Dukung Pabrik Semen Rembang Beroperasi.
Prinsip menjaga dari kerusakan, menurutnya, lebih prioritas dari segalanya. Berdasarkan alasan itulah, PBNU mendukung bisnis yang beretika dan siap menegur pemerintah bila ada sesuatu yang dinilai tidak layak.
“Kaidahnya, Dar’ul Mafasid Muqoddamun ‘Ala Jalbil Mashalih. Menolak kerusakan itu harus yang pertama daripada mengambil kemanfaatan. Ini pentingnya agar menjaga alam dari kerusakan,” beber Kiai Said.
Mengenai pabrik semen di Rembang, sikap Kiai Said berbeda dengan warga NU di akar rumput. Mereka menolak tambang pabrik semen.
Pada 25 Mei 2014, warga NU mengadakan pertemuan di Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin yang diasuh Penjabat Rais Aam PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri. Pertemuan ini dihadiri PCNU Rembang, PCNU Lasem, Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FKNSDA), dan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Halaqah ini menghasilkan pernyataan sikap menolak pabrik semen.
Pertama, bukti-bukti lapangan mutakhir seperti ditemukannya ratusan mata air, gua, dan sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit yang bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding gua, semakin menguatkan keyakinan bahwa kawasan karst Watuputih harus dilindungi.
Proses produksi semen, menurut mereka, berpotensi merusak sumber daya air yang berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar dan juga warga Rembang dan Lasem yang menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang mengambil air dari Gunung Watuputih.
Kedua, kebutuhan lahan yang sangat luas untuk perusahaan-perusahaan semen akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian, sehingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan.
Selain itu, hal ini juga akan menurunkan produktivitas sektor pertanian di wilayah sekitar karena dampak buruk yang akan timbul, seperti matinya sumber mata air, polusi debu, dan terganggunya keseimbangan ekosistem alamiah. Pada akhirnya, semua hal ini akan melemahkan ketahanan pangan daerah dan nasional.
Ketiga, ketidaktransparanan dan ketidakadilan yang terjadi di lapangan saat ini telah mengakibatkan terjadinya perampasan hak rakyat atas informasi terkait rencana pembangunan pabrik semen.
Ketidaktransparanan dan ketidakadilan ini muncul dalam proses penyusunan Amdal, kebohongan publik dengan menggeneralisasi bahwa seluruh masyarakat setuju dengan pembangunan pabrik semen, dan tidak adanya partisipasi masyarakat yang menolak rencana pembangunan ini.
Keempat, penggunaan daerah ini sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air, serta Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.
Kelima, adanya indikasi gratifikasi dalam proses keluarnya izin yang begitu mudah, meskipun ada pelanggaran yang nyata.
Keenam, melanggar prinsip kaidah fiqih dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih, bahwa kerusakan lingkungan akibat pembangunan pabrik semen lebih besar daripada kemanfaatannya.
Ormas kelola tambang
Pada 2024, Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan presiden (perpres) yang mengatur izin kelola tambang bagi ormas keagamaan.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyambut baik. Ia menyebut PBNU membutuhkan sumber pendapatan untuk membiayai organisasi dan melihat pengelolaan tambang sebagai peluang, tetapi dengan syarat tidak merugikan masyarakat dan lingkungan.
“Jika PBNU diberi konsesi di tengah permukiman tentu saja kami tidak mau, atau yang di situ ada klaim hak ulayat, tentu tidak bisa, tidak mau,” katanya di kantor PBNU, Kamis (6/6/2024), seperti dikutip dari artikel Tempo berjudul Alasan PBNU Terima Izin Tambang.
Bagi Gus Yahya, sumber daya alam (SDA), terutama tambang yang dimiliki oleh Indonesia, perlu dikelola sebaik mungkin dengan pola ekstraksi.
Ia menginginkan kekayaan itu menjadi kepunyaan bangsa Indonesia dan dapat dimanfaatkan secara bersama.
Tetapi, parameternya harus memenuhi kepentingan - kepentingan terkait kemaslahatan umum dan lingkungan hidup.
“Menurut saya, UU, peraturan dan regulasi itu tidak cukup. Biasanya regulasi-regulasi itu diakali. Tapi kalau kita punya konsensus nasional, ini bisa menjadi dasar pengawasan dan pengendalian ke depan,” katanya.
Terpopuler
1
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
2
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
3
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
4
Pengumuman Hasil Seleksi Wawancara Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
5
Mudir 'Ali JATMAN: Tarekat adalah Warisan Asli Wali Songo
6
Hukum Makan Balut dalam Islam: Halal atau Haram? Ini Penjelasan Lengkap Ulama
Terkini
Lihat Semua