Nasional

Pemerintah Sebaiknya Perdalam Rumusan Kebijakan Sertifikasi Pernikahan

Rab, 20 November 2019 | 08:30 WIB

Pemerintah Sebaiknya Perdalam Rumusan Kebijakan Sertifikasi Pernikahan

Jamaluddin Mohammad, Peneliti Yayasan Rumah Kitab. (Foto: NU Online/Ahdori)

Bogor, NU Online
Beberapa waktu lalu Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) mencanangkan program sertifikasi perkawinan sebagai syarat melangsungkan pernikahan bagi pasangan muda-mudi.
 
Rencananya, program ini dilakukan dengan mewajibkan bimbingan pranikah. Bagi yang lulus bimbingan, maka ia berhak mendapatkannya dan bisa menikah. Hal sebaliknya, berlaku bagi yang tidak lulus.
 
Peneliti Yayasan Rumah Kitab, Jamaluddin Mohammad menilai kebijakan pemerintah mewajibkan sertifikasi bagi masyarakat yang hendak menikah  tidak menjamin persoalan-persoalan rumah tangga selesai. Untuk itu perlu ada kajian mendalam mengenai rumusan regulasinya. 
 
Selama ini pendekatan regulasi oleh pemerintah menurut Jamaluddin kerap dilakukan dan tidak berhasil. Satu contoh pada Undang-undang Perkawinan yang mengatur usia minimal pernikahan. Ketentuan tersebut baru sebatas regulasi saja karena fakta di lapangan masih ditemukan warga yang menikah tidak sesuai dengan ketentuan.  
 
“Selain itu, pendidikan keluarga sakinah di KUA itu ada bahkan sudah ada sejak lama, kenapa tidak dimaksimalkan itu saja. Karena untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah yang diharapkan pemerintah menurut saya tidak cukup dengan sertifikasi,” katanya di temui NU Online di Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/11) siang. 
 
Di sisi lain, kebijakan yang sedang dirumuskan oleh pemerintah tersebut belum diketahui pasti apa tujuan dasarnya. Jika tujuannya agar masyarakat paham soal kehidupan rumah tangga, maka pemerintah cukup memperbaiki program yang ada. 
 
“Jadi sertifikasi itu bukan bicara lolos tidak lolosnya, untuk membangun keluarga sakinah dan agar sesuai tujuan UU perkawinan. Pertama harus ada kesiapan mental, kesiapan sosial juga kesiapan ekonomi. Itu saya kira, sekarang ini cenderung mengedepankan regulasi padahal menikah itu menyangkut kebudayaan dan sosial,” tuturnya. 
 
Ia mengungkapkan kebijakan mewajibkan sertifikasi pernikahan belum tepat karena pendekatan yang saat ini dibutuhkan masyarakat adalah pendekatan budaya dan sosial. 
 
“Jadi saya kira tidak tepat. Perlu banyak kajian. Soalnya begini saya ambil analogi kita kan menghadapi kawin anak. Sampai saat ini kawin anak di Indonesia ini ke 7 dunia dan kedua ASEAN setelah Kamboja, padahal sudah ada UU batas usia menikah,” katanya
 
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Muhammad Faizin