Nasional

Pemuda Papua Memandang Gus Dur dan Masa Depan Bumi Cenderawasih

Sen, 30 Oktober 2023 | 17:00 WIB

Pemuda Papua Memandang Gus Dur dan Masa Depan Bumi Cenderawasih

Bhrischo Jordy Dudi Padatu, pemuda Papua yang menjadi aktivis Lembaga Masa Depan Papua. (Foto: NU Online/Syakir)

Jakarta, NU Online
KH Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur mempunyai tempat sendiri di hati masyarakat Papua, tak terkecuali bagi orang mudanya. Namanya disebut-sebut menjadi sosok penting bagi kemanusiaan di Papua.

 

Bagi orang-orang Papua, Gus Dur merupakan sosok toleran yang tidak hanya memikirkan kelompoknya, tetapi juga golongan lain, khususnya mengangkat minoritas.

 

"Walaupun mayoritas Muslim tapi dia memikirkan kaum Minoritas. Apalagi anak Papua (sebelumnya) merasa anak dianaktirikan," kata Bhrischo Jordy Dudi Padatu, pemuda Papua, saat bertemu pada Festival HAM 2023 di Singkawang, Kalimantan Barat, Rabu (18/10/2023).

 

Jordy melihat Gus Dur yang hadir di Papua menemui dan berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Hal ini, baginya dan masyarakat Papua, merupakan sesuatu yang positif. "Turun ke masyarakat yang tidak terikat dengan struktur pemerintah," ujarnya.

 

Tak pelak, Gus Dur mengindahkan keinginan masyarakat Papua untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora dengan syarat tidak melebihi ketinggian Merah Putih. Sebab, ia mengetahui bahwa Bintang Kejora merepresentasikan kehidupan dan nilai masyarakat. "Itu lambang daerah bukan pemberontakan NKRI," ujarnya.

 

Bayangan masa depan
Di dalam bayangannya, masa depan Papua harus dimulai dari sisi pendidikannya yang masih perlu banyak sentuhan. Menurutnya, semua aspek berkaitan erat dengan pendidikan.

 

"Masyarakat lebih mendengarkan orang pendidikan. Mereka punya kesadaran besar terhadap pendidikan," kata aktivis Lembaga Masa Depan Papua itu.

 

Hanya saja, ia melihat pendidikan ini masih kurang inklusif dalam fasilitas dan profesionalitas guru. "Masyarakat Papua kehilangan kesempatan untuk dapat pendidikan inklusif," ujar alumnus Hubungan Internasional Universitas Presiden itu.

 

Lebih lanjut, masa depan Papua dalam bayangannya adalah masyarakat yang bisa menghidupi dirinya sendiri, tidak bergantung pada orang lain karena pendidikan.

 

Karenanya, melalui komunitasnya, ia bergerak untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dan literasi. Ia mendirikan rumah baca mengingat pelajar SMP masih ada yang belum bisa membaca.

 

"Anak tidak mengerti ke sekolah mau apa. Mereka hanya formalitas, tidak ada kontekstualisasi," katanya.

 

Lebih lanjut, ia juga melihat bahwa berbagai konflik harus segera diselesaikan. Sebab, banyak warga sipil yang menjadi korbannya.

 

"Mereka jadi pengungsi di tanahnya sendiri. Mereka bertahun-tahun hidup dalam ketakutan," katanya.

 

Karenanya, warga Papua ingin konflik HAM masa lalu dapat diungkap. Pun, tanah adat menjadi sepenuh dan seutuhnya milik mereka.