Nasional

Pengamat Jelaskan Tantangan dan Peluang bagi Presiden Selanjutnya

Sab, 2 September 2023 | 18:00 WIB

Pengamat Jelaskan Tantangan dan Peluang bagi Presiden Selanjutnya

Kegiatan Refleksi Menuju Pemilu 2024: Tetap Waras di Zaman Edan di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat, pada Jumat (1/9/2023) malam. (Foto: Gusdurian)

Jakarta, NU Online
Pengamat Politik Yunarto Wijaya menjelaskan bahwa perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dimulai dengan modal kepuasan publik terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang sangat tinggi.


Hal itu diungkapkan dalam acara diskusi spesial Harlah Gus Dur yang diselenggarakan Komunitas Gusdurian Jakarta bertajuk Refleksi Menuju Pemilu 2024: Tetap Waras di Zaman Edan di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat, pada Jumat (1/9/2023) malam.


"Saya pikir pas masa Covid-19 bubar jalan nih. Mengerikan situasinya. Tapi ternyata tingkat kepuasan publik kita saat ini ada di angka 76-82 persen," ucap Direktur Eksekutif Charta Politika itu. 


Ia menjelaskan terdapat sejumlah pertanyaan yang dilempar kepada responden untuk mengungkap tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi. 


Misalnya, pertanyaan umum yaitu 'Apakah bapak/ibu/saudara puas dengan pemerintahan Jokowi?' 


Kemudian ada pertanyaan tambahan yang bersifat sektoral yakni 'Apakah bapak/ibu puas dengan bidang hukum?'


Lalu pertanyaan yang sifatnya subsektor, 'Apakah bapak/ibu puas dengan pemberantasan korupsi?'


"Faktanya, gap-nya itu jauh. Kepuasan publik 80 persen, tapi terhadap bidang hukum 60 persen, dan pemberantasan korupsi tidak sampai 60 persen," jelas Toto, sapaan akrabnya.


Ia menjelaskan bahwa tingginya tingkat kepuasan publik kepada Jokowi itu ditopang oleh faktor emosional. Dengan kata lain, ada kecintaan terhadap sosok Presiden Jokowi tetapi tanpa perasaan bahwa hidupnya beranjak lebih baik. 


Setelah menjelaskan tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi yang sangat tinggi di akhir-akhir masa jabatannya itu, Toto kemudian menjelaskan tantangan dan peluang bagi Presiden selanjutnya. 


Salah satu tantangannya adalah bahwa siapa pun yang akan menjadi Presiden pada 2024 nanti akan terbebani oleh ekspektasi masyarakat yang tinggi. 


"Siapa pun yang nanti akan menjadi Presiden pengganti Jokowi, dia akan dibebani oleh beban ekspektasi secara emosional yang tinggi. Siapa pun yang jadi Presiden, setahun pertama pasti kepuasan publiknya akan anjlok karena akan dibanding-bandingkan sama 'mantan'. Itu kan masalah perasaan," katanya.


Namun peluang atau kabar baiknya ketika Pemilu dimulai dengan kepuasan publik cukup tinggi itu adalah tidak akan terjadi konflik yang terasa sangat panas.  


"Kabar baiknya, kalau kita memasuki tahun pemilu dengan kepuasan publik cukup baik, artinya tanpa ada masalah; atau problem yang pelik di dalam negeri, kecenderungan konflik harusnya jauh lebih kecil," katanya.


"Kalau terasa panas pun itu hanya di jempol (media sosial). Tapi potensi konflik di level darat, dengan psikologi seperti sekarang, semoga enggak," imbuh Toto.


Komunikator Politik dan Praktik Kampanye
Sementara itu, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik menjelaskan bahwa komunikator politik bukan hanya para politisi, tokoh partai, atau para kandidat saja. Para pemilih juga bisa disebut sebagai komunikator politik.


Dalam konteks Pemilu, kata Idham, komunikasi politik yang dilakukan oleh para komunikator itu dimaknai sebagai praktik kampanye.


"Praktik kampanye menurut UU Pemilu itu adalah kampanye yang edukatif. Karena kampanye adalah sarana pendidikan pemilih. Itu menurut UU Pemilu," kata Idham.


Bahkan tak hanya sebatas edukatif, tetapi kampanye juga harus rasional. Sebab UU Pemilu dimaktubkan bahwa kampanye adalah sarana meyakinkan pemilih dengan cara menawarkan visi-misi, program, dan citra diri.


"Praktik kampanye harus dibingkai dalam konteks komunikasi politik yang rasional. Tidak hanya kontestan kepada para pemilih, tapi pemilih juga harus rasional menghadapi pesan-pesan komunikasi politik, persuasi, propaganda politik yang dimainkan para politisi atau kontestan," jelas Idham, Doktor Komunikasi Politik jebolan Universitas Indonesia itu.