Nasional

Pengggunaan Medsos Perlu Kedewasaan Sosial dan Toleransi

Ahad, 29 September 2019 | 00:30 WIB

Pengggunaan Medsos Perlu Kedewasaan Sosial dan Toleransi

Suasana Bincang Teras Negeriku dengan tema ‘Memelihara Toleransi Perkuat NKRI’ di halaman Gedung Soerachman Universitas Jember, Jawa Timur, Sabtu (28/9).

Jember, NU Online

Di era revolusi industri 4.0. ini media sosial (medsos) menjadi kebutuhan masyarakat, termasuk di Indonesia. Bahkan menurut riset We Are Social tahun 2019, terdapat sekitar 150 juta pengguna medsos di Nusantara. Data ini menunjukkan bahwa kekuatan sosial media tidak bisa dipandang sebelah mata. Artinya jika digunakan untuk tujuan yang baik, maka medsos akan memberikan manfaat yang luar biasa. Sebaliknya kalau dimanfaatkan untuk tujuan salah, medsos bisa membawa dampak yang cukup destruktif.

 

Hal tersebut diungkapkan Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo RI, Bambang Gunawan saat menjadi narasumber dalam Bincang Teras Negeriku dengan tema Memelihara Toleransi Perkuat NKRI di halaman Gedung Soerachman Universitas Jember, Jawa Timur, Sabtu (28/9).

 

Menurut Bambang, saat ini PBB telah mengakui bahwa pemanfaatan medsos adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu pemerintah menjamin warganya untuk menggunakan medsos. Dari data yang ada, katanya, diperkirakan ada 300 juta telepon seluler yang beredar di Indonesia. Sementara jumlah rakyat Indonesia di angka 260 juta jiwa.

 

“Data ini menggambarkan aktifnya media sosial di Indonesia. Namun di sisi lain penyalahgunaan media sosial masih marak terjadi, termasuk penyebaran hoaks yang berpotensi merusak toleransi dan persatuan NKRI,” ujarnya.

 

Oleh karena itu, tambahnya, pemerintah melalui Kementerian Kominfo RI mengambil langkah take down dan slow down untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Take down artinya menghapus situs dan media sosial tertentu seperti situs radikal.

 

“Sementara slow down adalah tindakan memperlambat koneksi internet, seperti yang dilakukan saat sidang kasus Pilpres di gedung MK dan saat kerusuhan di Papua,” ulas Bambang yang juga alumnus Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember ini.

 

Bambang menegaskan, Kementerian Kominfo RI terus berusaha agar masyarakat Indonesia lebih bijaksana dalam bermedia sosial, diantaranya dengan menyosialisasikan literasi media dan literasi digital, termasuk budaya cek dan ricek. Katanya, budaya baca masyarakat masih rendah, sehingga tidak heran jika terkadang tanpa membaca dengan tuntas sebuah informasi, lantas langsung disebarkan kepada orang lain. Ditambah lagi kentalnya budaya ngerumpi, maka informasi yang salah bisa tersebar dengan cepat.

 

“Salah satu cara meningkatkan literasi media dan literasi digital dengan kegiatan Bincang Teras Negeriku yang menyasar kalangan muda seperti mahasiswa,” imbuhnya.

 

Sementara itu pembicara lainnya, Akhmad Taufiq, menekankan pentingnya pembentukan kedewasaan sosial masyarakat Indonesia. Menurutnya, kondisi Indonesia yang tersusun atas beragam agama, suku, bahasa dan adat istiadat, seharusnya membuat masyarakat paham akan batas sensitivitas yang ada. Masyarakat harus makin dewasa, jangan sampai batas sensivitas tadi ditabrak, semisal mengenai suku, agama, ras dan antar golongan. Pemerintah memang bisa membatasi akses kepada media sosial, tapi jika tidak diimbangi dengan pendekatan persuasif kepada subyek semisal kelompok berbasis ideologis, maka pembatasan tadi tidak akan selalu berhasil.

 

“Kata kuncinya memang kedewasaan sosial dan toleransi,” jelas Ketua Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember itu.

 

Pewarta: Aryudi AR

Editor: Ibnu Nawawi