Nasional

Penjelasan MUI soal Ganti Kelamin

Rab, 12 Februari 2020 | 20:00 WIB

Penjelasan MUI soal Ganti Kelamin

Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI, Asrorun Ni'am Sholeh. (Foto: facebook)

Jakarta, NU Online
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh, menanggapi fenomena penggantian jenis kelamin yang menjadi isu publik sejak kasus pidana narkoba yang melibatkan seorang artis.
 
Menurut Asrorun Ni'am, persoalan penggantian jenis kelamin baik dari pria menjadi perempuan maupun sebaliknya, telah ditetapkan pada Juli 2010 oleh Komisi Fatwa MUI.
 
Fatwa tentang Penggantian dan Penyempurnaan Jenis Kelamin itu secara hukum menyebutkan bahwa, kesatu, mengubah alat kelamin dari pria menjadi wanita atau sebaliknya yang dilakukan dengan sengaja, misalnya dengan operasi kelamin, hukumnya haram.
 
Kedua, membantu melakukan ganti kelamin sebagaimana poin 1 hukumnya haram. Ketiga, penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi pergantian alat kelamin sebagaimana poin 1 tidak dibolehkan dan tidak memiliki implikasi hukum syari terkait pergantian tersebut.
 
Keempat, kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana poin 1 adalah sama dengan jenis kelamin semula seperti belum dilakukan operasi ganti kelamin, mesti telah memperoleh penetapan pengadilan.
 
Penyempurnaan Alat Kelamin
Adapun terkait penyempurnaan alat kelamin, disebutkan bahwa, pertama,  menyempurnakan alat kelamin bagi seorang khuntsa, yaitu orang yang mempunyai dua alat kelamin pria dan wanita, yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih dominan atau sebaliknya, melalui proses operasi penyempurnaan alat kelamin, maka hukumnya diperbolehkan.
 
Kedua, membantu melaksanakan penyempurnaan alat kelamin seperti dimaksud poin 1, diperbolehkan. Ketiga, pelaksanaan operasi penyempurnaan seperti dimaksud poin 1 itu harus berdasarkan atas pertimbangan medis bukan hanya pertimbangan psikis semata.
 
Keempat, penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi yg dimaksud poin 1 dibolehkan sehingga memiliki implikasi hukum syari terkait penyempurnaan tersebut. Kelima, kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi dimaksud poin 1 adalah sesuai dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan sekalipun belum mendapat penetapan pengadilan terkait perubahan status tersebut.
 
 
Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Abdullah Alawi