Nasional RISET DIKTIS

Pepali Ki Ageng Selo Bentangkan Tasawuf Akhlaki dan Falsafi

Kam, 10 Oktober 2019 | 02:30 WIB

Pepali Ki Ageng Selo Bentangkan Tasawuf Akhlaki dan Falsafi

Ilustrasi (NU Online)

Ajaran tasawauf di Nusantara relatif lebih mudah diterima di tengah-tengah masyarakat. Sebab, tasawuf bersifat luwes dan lebih mengedepankan nilai-nilai kearifan. Ajaran tasawuf lebih menonjolkan dimensi estetis dari pada ketentuan-ketentuan hukum mutlak dalam suatu agama. Sebab itulah, tasawuf lebih mudah menyusaikan 'dirinya' dengan kultur masyarakat setempat yang kaya dengan kearifan lokalnya masing-masing.

Di Nusantara, kehadiran tasawuf mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan proses islamisasi di Nusantara yang notabene didominasi dengan pedekatan sufistik ketimbang pengajaran hukum-hukum formal sebagaimana yang terdapat dalam fikih dan syariat.

Perkembangan tasawuf di Nusantara sejarahnya dapat dilacak sejak abad ke-12. Yaitu ajaran tasawuf yang dipelopori oleh Syekh Abdullah Arif di daerah Aceh pada masa Kesultanan Peureulak. Setelah itu baru muncul tokoh seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri pada abad 16-17. Itu artinya, tasawuf lebih awal diterima dan berkembang pesat  di Nusantara ketimbang fikih dan tauhid.

Bersamaan dengan masa Hamzah Fansuri (wafat1590), di Demak terdapat seorang Sufi berkebangsaan asli Jawa, yitu Ki Ageng Selo yang juga hidup di awal abad ke-16. Sebagai seorang sufi, Ki Ageng Selo memiliki ajaran tasawuf yang—oleh murid-muridnya—dikumpulkan dalam satu pepali berbentuk tembang macapat.

Ajaran tasawuf Ki Ageng Selo ini telah diteliti oleh Rima Ronika dari Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA) Yogyakarta, dalam program Penelitian Berbasis Pengabdian Masyarakat yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, menjabarkan dalam hasil penelitian berjudulCorak Ajaran Tasawuf dalam Pêpali Ki Agêng Selo Ditinjau dari Perspektif Hermeneutik Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher.

Rima menuturkan bahwa ajaran tasawuf Ki Ageng Selo merupakan perpaduan antara tasawuf akhlaki dan tasawuf falsafi. Perpaduan inilah merupakan hal menarik yang menjadi ciri khas ajaran tasawuf Ki Ageng Selo itu sendiri. 
 
Jika dilihat dari segi pemaparannya, ajaran tasawuf Ki Ageng Selo dapat dikelompokkan pada bentuk tasawuf akhlaki. Yaitu suatu ajaran tasawuf yang tujuan utamanya adalah untuk mencetak sosok pribadi manusia yang berbudi luhur. Sedangkan perihal hidup yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan tersebut adalah dengan menerapkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.
 
Berangkat dari persepsi ini maka wajar jika Ki Ageng Selo mengarusutamakan ajaran tasawufnya pada tata cara membersihkan hati, menghindari perbuatan tercela, serta membiasakan diri dengan prilaku mulia. Sehingga dengan demikian, manusia mampu merasakan kedekatan dengan Tuhan (Allah), bahkan merasakan kehadiran tuhan itu sendiri dalam dirinya.

Kesimpulan Rima ini—tentang ajaran tasawuf Ki Ageng Selo sebagai perwujudan dari tasawuf akhlaki—diperkuat oleh fakta sejarah yang mencatat bahwa Ki Ageng Selo merupakan murid Kanjeng Sunan Kalijaga. Sebagai seorang guru, Kalijaga seringkali memberikan wejangan kepada Ki Ageeng Selo tentang hakikat manusia, tentang tata cara prilaku hidup mulia beserta filosofinya. Sehingga Ki Ageng Selo terpangaruh dengan pola pikir dan ajaran-ajaran sang Sunan.

Berangkat dari beberapa keterangan ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa corak dan karakteristik tasawuf Ki Ageng Selo dapat dikelompokkan pada tasawuf akhlaki.
 
Namun demikian, di sisi lain peneliti juga menjelaskan bahwa syair Pepali Ki Ageng Selo juga bertutur banyak tentang penyatuan manusia dengan tuhannya (Wahdatul Wujud). Begitu pula dituturkan hakikat Tuhan serta tata cara yang harus ditempuh oleh manusia untuk menyatu dengan Tuhan itu sendiri.
 
Dalam bagian ini, Ki Ageng Selo mengajarkan bahwa penyatuan manusia dengan Tuhan merupakan puncak dari segala kebahagian yang ada. Oleh karenanya manusia senantiasa berlomba-lomba untuk menggapai tujuan ini. Bagi Ki Ageng Selo penyatuan manusia dengan Tuhan dapat ditempuh dengan berbagai hal secara bertahap.
 
Pertama, manusia harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Karena hanya dengan ilmu pengetahuan itulah manusia mampu mendasarkan seluruh bentuk prilaku hidupnya (termasuk juga ibadah yang dilakukannya) semata-mata hanya dipersembahkan kehadirat Tuhan. 
 
Kedua, manusia harus mengoptimalkan fungsi akal sehat dan nalar logisnya. Sehingga, dengan perenungan (tadabbur) manusia dapat merefleksikan keberadaan dirinya beserta 'arti' seluruh ciptaan tuhan itu sendiri. Langkah ini dimaksudkan untuk menyadari bahwa keberadaan manusia beserta seluruh alam jagat raya ini merupakan manifestasi dari wujud Tuhan itu sendiri. 

Ketiga, manusia harus menempuh jalan syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat secara bertahap. Menurut Ki Ageng Selo, manusia bisa mencapai tingkatan makrifat, setalah melewati berbagai ujian untuk menguatkan jiwanya dan menguji tingkak keimanannya. Maka setelah manusia melewati tahapan-tahapan tersebut, ia baru mampu menerima kehadiran Tuhan dalam dirinya.
 
Dari dua penjelasan di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa tasawuf Ki Ageng Selo merupakan perpaduan dari tasawuf ahlaki dan tasawuf falsafi sekaligus. Artinya, tawasawuf Ki Ageng Selo tidak didominasi oleh satu corak dan karakteristik saja. Akan tetapi tasawuf Ki Ageng Selo mampu menyatukan ajaran dan praktek hidup ala tasawuf ahlaki dengan perspektif tasawuf falsafi yang sangat mendalam.
 
Penulis: Ahmad Fairozi
Editor: Kendi Setiawan