Nasional

Peran Strategis Muslimat NU dalam Menurunkan Angka Stunting di Indonesia

Kam, 29 Agustus 2019 | 16:45 WIB

Peran Strategis Muslimat NU dalam Menurunkan Angka Stunting di Indonesia

Muslimat NU saat melakukan kegiatan mobilisasi gerakan masyarakat hidup sehat (germas) dan pencegahan stunting di Pesantren Al-Azhari Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (29/8).

Jakarta, NU Online
Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek. Umumnya penderita rentan terhadap penyakit, kecerdasan di bawah normal, serta produktivitas rendah. Menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), suatu wilayah atau negara dianggap kronis jika prevalensinya di atas 20 persen.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, 30,8 persen balita di Indonesia mengalami stunting. Angka ini turun jika dibandingkan data Riskesdas 2013, yakni 37,2 persen. Meski demikian, angkanya masih jauh dari target WHO yakni 20 persen.

Berangkat dari kondisi di atas, Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (PP Muslimat NU) terus menggalang kemitraan dan partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan stunting. Menggandeng Kementerian Kesehatan dan Dinas terkait, Muslimat NU intens melakukan kegiatan gerakan masyarakat hidup sehat (germas) dan pencegahan stunting di sejumlah daerah.

Program Germas dan Pencegahan Stunting PP Muslimat NU telah dilakukan di sejumlah daerah di antaranya, Kabupaten Hulu Sungai Utara di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan di Makassar, Banten di Pandeglang dan Lebak, serta di Banyumas, Jawa Tengah.

Ketua IV PP Muslimat NU Hj Aniroh Slamet Effendy Yusuf menjelaskan, sasaran germas adalah pesantren dan majelis taklim yang meningkat ke arah orientasi dan mobilisasi gerakan. Menurutnya, penggalangan kemitraan dan partisipasi masyarakat dalam gerakan untuk mewujudkan hidup sehat dan pencegahan stunting sangatlah penting agar masyarakat menjalani pola hidup dengan gerakan hidup sehat.

Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan RI dan Dinas terkait memandang peran strategis Muslimat NU dalam menurunkan angka stunting di Indonesia yang masih cukup tinggi. Hal ini dikarenakan Muslimat NU mempunyai anggota dan kader di seluruh Indonesia dan langsung terkait dengan problem sehari-hari ibu dan anak.

“Dengan kegiatan ini diharapkan masyarakat khususnya Banyumas dan Indonesia sadar akan pentingnya cara hidup sehat dan sadar untuk bersama-sama mencegah stunting untuk menciptakan generasi penerus yang lebih baik dan sehat,” terang Aniroh kepada NU Online, Rabu (28/8) saat memberikan sambutan dalam kegiatan germas dan pencegahan stunting di Banyumas, Jawa Tengah.

Ambang batas prevalensi stunting dari WHO mengategorikan angka stunting 20 sampai kurang dari 30 persen sebagai tinggi, dan lebih dari atau sama dengan 30 persen sangat tinggi. Indonesia tidak sendiri. Ada 44 negara lain dalam kategori angka stunting sangat tinggi.

WHO juga mencatat, 60 dari 134 negara masih memiliki tingkat stunting di bawah standar 20 persen. Padahal, stunting adalah indikator kunci kesejahteraan anak secara keseluruhan. Negara-negara dengan angka stunting tinggi merefleksi ketidaksetaraan sosial di dalamnya.

WHO menjadikan stunting sebagai Focus Global Nutrition Targets untuk 2025, juga Sustainable Development Goals untuk 2030.

Upaya memberantas stunting tidak hanya harus jadi perhatian pelaku sektor kesehatan. Sektor ketersediaan pangan, harga pangan terjangkau, dan lapangan kerja guna mencukupi kebutuhan hidup juga perlu diperhatikan.

Fokus pada problem remaja perempuan juga harus menjadi perhatian utama dalam upaya pencegahan stunting. Karena untuk melahirkan generasi bebas stunting di kemudian hari, para remaja perempuan ini harus memiliki gizi baik terlebih dahulu.

Tidak hanya dari aspek kesehatan, peningkatan peran perempuan dalam ekonomi keluarga dan pengasuhan anak juga penting. Pasalnya, jika perempuan punya posisi ekonomi baik dalam keluarga, daya tawar mereka pun lebih baik.

Termasuk dalam penentuan belanja keluarga. Perempuan diharapkan bisa mengutamakan gizi anak atau balita dalam belanja keluarga.

Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon