Nasional

Peraturan Turunan UU Pesantren Harus Berdasar Praktik Riil Pondok

Rab, 25 September 2019 | 06:15 WIB

Peraturan Turunan UU Pesantren Harus Berdasar Praktik Riil Pondok

Foto: NU Online/Syakir

Jakarta, NU Online
Undang-Undang tentang Pesantren telah resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Rapat Paripurna Kesepuluh di Gedung Nusantara II, Kompleks Perkantoran DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9).

Pengesahan tersebut bukan akhir dari perjuangan rekognisi terhadap pesantren, melainkan justru langkah awal untuk tugas berikutnya, yakni menyiapkan peraturan turunan.

“Ini adalah langkah awal yang saya kira jauh lebih berat. Ini memulai kewajiban baru, menyiapkan aturan di bawahnya,” kata Ketua Pengurus Pusat Rabithah Maahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) H Abdul Ghoffarrozin di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lantai 6, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Selasa (24/9) malam.

Peraturan di bawahnya, kata Gus Rozin, betul-betul harus disiapkan dengan matang karena payungnya sudah ada. “Harus disahkan dan harus sesuai dengan visi RUU dan kontestasinya lebih berat,” ujarnya.

Karenanya, ia menyatakan bahwa substansi peraturan turunan dari UU tentang Pesantren tersebut harus sesuai dengan praktik terbaik di pesantren. “Substansinya diambil dari based (on) practice yang selama ini ada di pesantren kemudian diteorikan dan dituangkan dalam perundang-undangan,” ucapnya.

Gus Rozin menyampaikan bahwa ada sembilan plus satu aturan yang perlu dikonkretkan, yakni satu soal terkait pendanaan oleh negara yang harus diwujudkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Sedangkan sembilan lainnya adalah aturan-aturan lain, seperti penyelenggaraan majelis masyayikh, jenis pesantren, tata kelola, dan sebagainya.

Semua peraturan turunan itu, katanya, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melanjutkannya. Tetapi, lanjutnya, tentu RMI NU mempunyai tanggung jawab moral untuk mengusulkan substansi dari keseluruhan aturan tersebut.

Pengsuh Pondok Pesantren di Kajen, Pati, Jawa Tengah itu, juga menjelaskan bahwa pemerintah memiliki waktu tiga tahun untuk merumuskan aturan-aturan derivasi dari UU tentang pesantren. Hal tersebut, lanjutnya, menunjukkan bahwa setelah UU disahkan tidak langsung berlaku begitu saja.

“Jadi, Undang-Undang itu amanatnya untuk sampai efektif pada pelaksanaan juklak (petunjuk pelaksanaan), juknis (petunjuk teknis) itu mempunyai waktu tiga tahun. Artinya, pemerintah mempunyai waktu tiga tahun untuk membuat kelengkapannya. Ini tidak bisa langsung berlaku efektif dan hasilnya terasa,” katanya.
 
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Alhafiz Kurniawan