Nasional HARI PEREMPUAN SEDUNIA

Perempuan dalam Isu Terorisme, Jadi Korban dan Sulitnya Pemulihan

Sel, 8 Maret 2022 | 23:30 WIB

Perempuan dalam Isu Terorisme, Jadi Korban dan Sulitnya Pemulihan

Ilustrasi perempuan. (Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Perempuan dalam tindak pidana terorisme memiliki andil cukup besar, baik secara langsung maupun di belakang layar. Tanpa perempuan, bisa saja aksi-aksi teror yang sedang direncanakan gagal total.


Hal tersebut merujuk pada paparan Leebarty Taskarina dalam bukunya berjudul Perempuan dan Terorisme. Sementara, kasus-kasus terorisme terus bermunculan dari tahun ke tahun. Terbaru, Densus 88 Antiteror menangkap terduga terorisme di Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah 14 Februari lalu.


Terorisme sendiri semakin gencar dibicarakan setelah insiden pengeboman World Trade Center (WTC) dan Pentagon di AS pada 2001 silam. Kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam ini berangkat dengan berbagai tujuan dan latar belakang. Salah satunya ingin Indonesia maupun negara lain menjadi negara bersistem khilafah.


Menurut Taskarina, aksi teror tergolong dalam tindak kejahatan luar biasa karena membahayakan nilai-nilai hak manusia lain yang absolut, serangannya bersifat random dan dapat menimpa siapa saja. Kelompok-kelompok teroris ini juga terorganisir, dan melakukan tindakan merugikan yang mengandung unsur kekerasan.


Sementara, pelaku teror sendiri seringkali didominasi oleh lelaki. Tindakan bom bunuh diri menjadi ajang pembuktian maskulinitas dan keberanian mereka sebagai seorang pria. Mereka meyakini bahwa jalan yang dipilihnya merupakan tindakan jihad dan pengorbanan paling tinggi bagi agama.


Namun, belakangan perempuan mengambil andil besar dalam tindakan terorisme. Mereka tidak hanya bergerak di belakang layar. Namun, juga maju sendiri melakukan aksi teror.


Misalnya, Dian Yulia Novi, pelaku bom panci di Bekasi. Ika Puspita Sari yang terlibat dalam aksi bom bunuh diri di luar Jawa. Umi Delima, istri teroris Santoso di Poso. Mereka terlibat dalam upaya penyusunan rencana maupun penyembunyian pelaku.


Guru Besar Ilmu Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alimatul Qibtiyah, mengatakan bahwa meningkatnya keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme dikarenakan beberapa faktor. Pertama, menurunnya jumlah kombatan pria. Kedua, kelompok teror seringkali memanfaatkan stereotip yang melekat pada perempuan sebagai strategi perang.


Ketiga, karena perempuan banyak menanggung beban dan ketidaknyamanan dalam lingkungan kerja, sehingga kelompok teror memanfaatkan celah tersebut dan menawarkan kenyamanan,” kata Alimatul Qibtiyah.


Sementara, menurut Leebarty Taskarina, perempuan dalam pusaran terorisme seringkali hanya dimanfaatkan untuk kepentingan lelaki dan kelompok teroris. Misalnya untuk membantu persembunyian pelaku teror dari aparat.


“Perempuan dengan stereotip yang melekat pada dirinya dianggap mampu menyusup dengan baik di tengah masyarakat dan membantu kepentingan teroris,” tulis Taskarina.


Menyudutkan perempuan
Hingga kini, sebagian besar narasi yang berkembang menyudutkan perempuan hanya sebagai pihak yang turut menjadi pelaku teror. Sementara, faktor-faktor keterlibatan perempuan dalam aksi teror mengarah pada fakta bahwa perempuan dapat juga menjadi korban.


Taskarina menjelaskan, proses perekrutan perempuan dalam kelompok terorisme menggunakan strategi kekerabatan. Perempuan direkrut secara tidak sadar baik oleh suami, ayah maupun kerabat lelakinya yang lain.


“Kemudian perempuan dibenturkan dengan nilai-nilai bahwa perempuan dalam keluarga harus patuh. Maka, kondisi tersebut memposisikan perempuan dalam ketidakberdayaan untuk memilih dan secara tidak sadar terjerumus dalam tindakan teror,” paparnya.


Berdasarkan studi Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (Pakar), sejumlah kegiatan perempuan yang terlibat dalam kasus terorisme di antaranya seperti memenuhi kebutuhan kelompok maupun suami. Sayangnya, mereka tak sadar bahwa mereka sedang berkontribusi dalam perencanaan tindakan teror.


Tak hanya itu, studi tersebut juga menemukan bahwa perempuan yang terlibat terorisme masih terus merasakan penderitaan semasa hidupnya meski telah melepaskan diri dari kelompok.


“Mereka dikucilkan keluarga dan masyarakat, mengalami kesulitan ekonomi, dan dibebani label-label dari masyarakat. Belum lagi soal negara dan pihak-pihak yang belum begitu sadar akan posisi dan kondisi mereka,” tulis laporan Pakar.


Hasil studi itu sejalan dengan paparan peneliti Kapal Perempuan Ning Tyas yang pernah meneliti mengenai perempuan dan isu-isu radikalisme. Berdasarkan pengalaman Tyas, sapaan akrabnya, perempuan dalam lingkungan radikalisme lebih banyak diposisikan menjadi objek yang harus mengikuti keinginan pria atau suaminya.


Sementara, Eks Napiter anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Malang, Kristianto, menceritakan sejumlah pengalaman buruk yang pernah dialaminya bersama istri semasa menjadi napiter dahulu.


“Saya dulu tinggal di Malang. Penangkapan saya juga di Malang. Setelah ditangkap, rumah saya digerebek oleh aparat gabungan, padahal di rumah tinggal istri dan tiga anak saya, 2 perempuan dan 1 lelaki,” papar Mas Abby, sapaan akrabnya.


Tak hanya itu, eks napiter yang kini berjualan bakso keliling ini juga menjelaskan bahwa perlakuan tak nyaman juga datang dari masyarakat. “Sebelumnya dengan tetangga sekitar saya tidak ada masalah. Setelah penangkapan, keluarga saya diusir oleh kamituwo desa,” tambahnya.


Paparan tersebut semakin memperkuat bahwa perempuan sering kali menjadi korban dalam kasus terorisme, perlakuan buruk tidak hanya datang dari orang terdekat, namun juga dari masyarakat setempat. Belum lagi soal fasilitas pemulihan yang masih belum memadai.


Proses pemulihan
Paparan berbeda dan menarik datang dari Aktivis Gusdurian, Saiful Haq. Menurut dia, perempuan dalam isu terorisme tidak patut disebut sebagai korban. Peran perempuan dalam terorisme bukan lagi berada di kelas kedua.


“Mereka mengambil peran aktif dalam melakukan aksi teror. Semua itu, baru-baru ini bahkan dilakukan dengan penuh kesadaran dan bukan hanya ikut-ikutan secara tidak sadar,” paparnya.


Pria kelahiran Makassar tersebut lantas menyebutkan sejumlah contoh kasus terorisme terbaru yang melibatkan perempuan. “Misal di Mabes Polri dan penusukan Menko Polhukam Wiranto beberapa waktu lalu, perempuan terlibat aktif dan memegang kendali,” tandasnya.


Sementara itu, sejumlah perempuan eks napiter maupun yang pernah terlibat kegiatan terorisme sulit dijangkau. Beberapa di antaranya mengungkap bahwa isu soal terorisme masih terlalu sensitif untuk dibahas sehingga dapat memicu ingatan-ingatan buruk.


Kondisi tersebut menampakkan betapa sulitnya proses pemulihan yang dihadapi perempuan yang pernah terlibat kegiatan terorisme. Wajar saja, karena memang belum ada fasilitas layanan pemulihan yang dapat dijangkau dengan mudah. Umumnya layanan pemulihan hanya diperuntukkan bagi para napiter yang terlibat secara langsung.


Wal hasil, perempuan tetaplah manusia merdeka yang dapat menentukan pilihannya tanpa belenggu. Tugas kita bersama sebagai manusia adalah berlaku baik kepada siapapun, termasuk kepada perempuan. Sebab, posisi perempuan dalam isu terorisme sungguh berat.


Ke depan, kita semua dapat berlaku lebih baik dan lebih bijak untuk bersama-sama menghadirkan ruang yang aman bagi siapa saja. Termasuk bagi perempuan dengan latar belakang apapun.


Kontributor: Nila Zuhriah
Editor: Musthofa Asrori