Nasional

Psikolog Unusia Sebut Tiga Dampak Negatif Kebiasaan Flexing

Rab, 11 Mei 2022 | 22:00 WIB

Jakarta, NU Online
Istilah flexing belakangan viral di dunia maya menyusul fenomena munculnya para 'crazy rich' di media sosial. Flexing adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan sikap pamer kekayaan. Flexing juga dianggap sebagai sikap tidak menyenangkan.


Ketua Program Studi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Elmy Bonafita Zahro, menjelaskan flexing adalah perilaku tak sehat. Sedikitnya, terdapat tiga dampak negatif dari kebiasaan flexing.


“Fenomena sosial ini jelas tidak sehat jika tujuannya hanya untuk dipandang ‘hebat’ atau ‘sukses’ oleh orang lain karena orang tersebut berarti butuh pengakuan orang lain,” kata Elmy saat dihubungi NU Online, Rabu (11/5/2022).


Pertama, merugi secara psikis. Elmy menuturkan, seseorang yang melakukan flexing umumnya berharap untuk mendapatkan pujian dan pengakuan dari orang lain. Hal ini tentunya akan sangat melelahkan bagi pelaku flexing tersebut.


“Dia berusaha melakukan apapun untuk tampil dan terlihat hebat untuk mendapat respon ‘wah’ dari orang sekitar,” kata ungkap dosen yang juga tergabung dalam Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia itu.


Kedua, mengikis jati diri. Kebiasaan flexing cenderung dilakukan semata-mata untuk mendapatkan pengakuan. Perilaku ini akan membuat seseorang menjadi peduli pada penilaian dari orang lain.


“Orang tersebut selalu memerlukan validasi. Selain itu, beberapa orang ada yang sampai berbohong atau bukan menggunakan barang pribadi hanya karena ingin tampil hebat,” jabar psikolog lulusan Universitas Indonesia itu.


Ketiga, menyulitkan diri bangun relasi sosial. Tidak bisa dimungkiri kebiasaan flexing ini dapat membuat seseorang justru kesulitan menjalin hubungan sosial.


Status sosial yang ditunjukkan secara berlebihan berpotensi membuat orang lain merasa enggan menjalin hubungan lantaran pelaku flexing dirasa terlalu haus akan pujian dan validasi.


“Dampak negatif lainnya, orang tersebut kesulitan menjalin relasi sosial yang sehat karena mereka lebih memperhatikan pujian orang lain terhadap dirinya. Orang tersebut juga dianggap kurang memberi perhatian kepada orang sekitar,” paparnya.


Gangguan psikologis?
Lebih lanjut, Elmy menjelaskan bahwa perilaku flexing yang dilakukan seseorang tidak serta-merta dijadikan indikasi orang tersebut alami gangguan psikologis.


“Tidak secara langsung orang yang melakukan flexing memiliki kelainan karena penegakan diagnosis seseorang mengalami masalah psikologis perlu pemeriksaan lebih lanjut secara komprehensif,” terang Elmy.


Kendati demikian, kecenderungan seseorang untuk memamerkan diri dan menunjukkan kemampuan, menandakan orang tersebut mempunyai kebutuhan untuk diakui, dihormati, dan diperhatikan orang lain.


“Bisa jadi dia dulunya serba kekurangan dan kurang dihargai (inferiority) sehingga bentuk flexing yang dilakukan karena dia ingin menunjukkan bahwa dia sudah tumbuh dan berkembang lebih baik,” pungkasnya.


Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Musthofa Asrori