Nasional

Rais 'Aam PBNU: Jadikan Pelantikan Pengurus sebagai Energi Spiritual

Sel, 2 Maret 2021 | 00:05 WIB

Rais 'Aam PBNU: Jadikan Pelantikan Pengurus sebagai Energi Spiritual

KH Miftachul Akhyar pada pelantikan PCNU Kabupaten Sumenep di Pesantren Nurul Islam. (Foto: NU Online/Firdausi)

Sumenep, NU Online

Awal mula, baiat dipakai untuk ikrar pengislaman. Setiap pembaiatan harus dihayati dan jangan dilupakan maknanya.

 

Penegasan ini disampaikan oleh KH Miftachul Akhyar saat memberikan pengarahan kepada Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep, Jawa Timur. Acara ini digelar dalam rangka memperingati hari lahir ke-98 NU dengan tema 'Menyongsong Satu Abad, Meneladani Muassis menuju Kemandirian NU', Senin (1/3). Kegiatan dipusatkan di Pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka, Bluto.

 

Rais 'Aam PBNU tersebut menegaskan bahwa, jangan sampai lari dari perjuangan dan meninggalkan gelanggang.

 

"Senang dibaiat, dilantik, dan jabatan, namun setelah itu tidak ada harakah sebagaimana dijanjikan dalam bingkai pelantikan," katanya.

 

Di setiap pelantikan, ada energi spiritual yang akan mendorong kuat terlaksananya beragam program yang dihasilkan dari Konferensi Cabang (Konfercab).

 

"Walaupun tidak dilantik, ikatan jalinan yang kuat antarsesama pengurus akan menghasilkan sebuah program dan saat ini sudah dijalankannya oleh masing-masing lembaga," jelasnya.

 

Pengasuh Pondok pesantren Miftahussunnah, Surabaya tersebut menyatakan bahwa, dua tahun lagi NU akan memasuki abad kedua. Di mana sebelumnya terjadi pergolatan peristiwa besar yang silih berganti. Termasuk peran almaghfurlah KH Abd Wahab Chasbullah yang menyelamatkan Soekarno dari oknum yang ingin melengserkan jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia.

 

"Ini jasa besar NU tidak mungkin dilakukan oleh organisasi lain. Sejak itulah muncul istilah rais al-daruri bissyaukah, artinya pemimpin yang darurat tapi memiliki dukungan yang kuat. Potret ketangguhan Mbah Wahab inilah yang mampu menyelamatkan pemimpin nasional yang saat itu digugat dari beragam arah," jelasnya.

 

Dirinya menyatakan bahwa, Allah SWT telah mengutus satu atau dua orang yang memiliki juhud dan ijtihad demi menyegarkan benalu dalam urusan agama. Artinya, umat Islam saat ini mengalami pergeseran nilai dan perubahan paradigma.

 

Secara historis, Islam datang dalam keadaan asing, lalu berkembang hingga mencapai abad keemasan atau masa kemapanan. Jikalau seseorang dan organisasi merasa mapan, itu tanda-tanda kehancuran.

 

"NU harus diisi dengan nilai-nilai spiritual yang nantinya melahirkan kader militan, bukan melahirkan kadir dan kedher," sergahnya.

 

Menurutnya, kiamat tidak akan datang sebelum ada sebuah masa yang akan dialami oleh semua umat manusia. Masa itu dinamakan masa ketidakjelasan atau kebingungan (yaumul harj). Contohnya, manusia tidak bisa membedakan mana yang hak dan batil.

 

"Al-qatil wal maqtul finnar, artinya di situasi tertentu, seseorang telah membunuh tetapi tidak tahu alasannya, sebaliknya yang terbunuh tidak tahu kesalahannya,” katanya.

 

Dalam pandangan Kiai Miftah, hal tersebut lucu sekali, karena mereka akan terus berperang dengan menyajikan berita hoaks dan propaganda. Padahal yang mereka lakukan berdampak pada ukhuwah bangsa.

 

“Contoh lainnya, mereka menjadikan sesuatu yang positif menjadi negatif, sebaliknya yang negatif menjadi positif," terangnya.

 

Di akhir sambutan, Kiai Miftah merumuskan empat agenda utama demi menyambut NU di abad kedua, yakni grand media atau mencermati visi misi, grand desain yaitu rancang ulang kekuatan dan kelebihan. Juga grand strategi dengan menyiapkan fokus kaderisasi, serta grand kontrol.

 

"Visi-misi harus dihidupkan, sehingga Nahdliyin tahu sosok NU yang sebenarnya. Selanjutnya, kita harus bisa mengembalikan masa-masa tempo dulu, seperti di masa muassis. Hal terpenting adalah mengatur strategi dan menanta, agar program kederisasi bisa bermanfaat bagi masyarakat," pungkasnya.

 

Rais 'Aam PBNU menerima cinderamata dari  tuan rumah, PCNU Sumenep, dan Perkumpulan Dokter Nahdlatul Ulama.

 

Pewarta: Firdausi

Editor: Ibnu Nawawi