Nasional

Rais Aam PBNU Jelaskan Alasan Islam Sering Disalahpahami

Sen, 17 Februari 2020 | 05:15 WIB

Rais Aam PBNU Jelaskan Alasan Islam Sering Disalahpahami

Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar didampingi Senior General Manager Capital Businness Partner PT Telkom Group, Sendy Aditya Kamesvara (kiri) dan CHCO Telkom Group Edy Witjara. (Foto: NU Online/Pupu)

Bandung, NU Online
Kata Islam seringkali disandingkan dengan kata-kata lain sehingga muncul sejumlah istilah baru seperti Islam Nusantara, Islam Wasathiyah, dan istilah-istilah lain. Gegara inilah Islam seringkali disalahpahami oleh sekelompok orang sebagai aliran atau bahkan agama baru di Indonesia.

Hal demikian, menurut Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar merupakan sebuah kesalahpahaman yang luar biasa. Sebetulnya, Islam Washatiyah atau istilah-istilah Islam lainnya hanya penggambaran sekilas tentang keistimewaan ajaran Islam itu sendiri.

“Istilah Islam Washatiyah adalah bukti dari keterbatasan kita sebagai manusia dalam menjabarkan ajaran Islam. Karena sejatinya tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang dapat menjabarkan ajaran Islam secara sempurna," tegas Kiai Miftach dalam maui'dzah hasanah (ceramah agama) yang disampaikannya pada Diklat Islam Washatiyah di Bandung, Senin (17/2).

Lebih jauh Kiai Miftach menjelaskan, Islam Washatiyah merupakan penjabaran ajaran Islam yang seimbang, tidak lebih dan tidak kurang. Kata wasatha, sebagai kata dasar dari istilah Islam Wasathiyah, berarti sebuah keseimbangan baik dalam segi aqidah, akhlak, syari'ah, dan bahkan sepak terjang kita sebagai umat Islam.

“Bagaimana cara kita berinfaq, tidak lebih dan tidak kurang. Bagaimana kita berpakaian, dan lain-lain yang berkaitan dengan tatanan kehidupan kita di dunia, bahkan sampai akhirat. Seimbang antara aqli dan naqli," terangnya.

Islam Wasathiyah, lanjut Kiai Miftach, dalam implementasinya juga sangat jelas tergambar dalam bagaimana Islam mengatur sikap kita terhadap sesama umat Islam maupun non muslim.

"Ada beberapa pandangan Islam di bumi ini. Pertama, ukhuwah Islamiyah. Bagaimana Islam berhadapan dengan umat Islam sendiri. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan kita sendiri, sekalipun dalam keadaan sangat butuh. Itulah praktek ukhuwah islamiyah,” jelas Kiai Miftach.

Kedua, sambungnya, bagaimana Islam berhadapan dengan non muslim yang tidak memerangi (dzimmiy). Suatu hari sahabat Ali bin Abi Thalib pernah sangat marah kepada seseorang yang memanggilnya dengan gelar. Sedangkan dzimmiy yang ada di sampingnya hanya dipanggil nama saja.

“Sahabat Ali marah dan berkata, ‘Mengapa engkau harus membeda-bedakan kami? Panggil saja aku Ali!’ Dan terhadap golongan-golongan lain, Islam dengan tegas mengatur bagaimana kita harus bersikap,” tuturnya.

Sebagai penutup, kiai asal Surabaya Jawa Timur ini menegaskan bahwa Islam Wasathiyah bukan sekedar Islam yang lembut, tetapi juga tegas. "Demikianlah Islam Wasathiyah yang harus kita pahami. Islam Wasathiyah bukan Islam yang lembek. Islam Wasathiyah adalah Islam yang tegas pada tempatnya," pungkas Rais Aam.

Diklat Islam Wasathiyah yang digagas PBNU Diklat tersebut terselenggara berkat kerja sama dengan PT Telkom. Acara yang digelar di gedung Telkom Corporate University, Bandung, ini akan berlangsung dua hari, Senin-Selasa, 17-18 Februari 2020. Pesertanya sekitar 87 insan Telkom Group yang menangani DKM dan kajian di lingkungan mereka.
 
Kontributor: Pupu Shapuro
Editor: Musthofa Asrori