Nasional MUKTAMAR KE-34 NU

Rais 'Aam: Tongkat Nabi Musa itu Simbol Sistem Komando NU

Kam, 23 Desember 2021 | 06:00 WIB

Rais 'Aam: Tongkat Nabi Musa itu Simbol Sistem Komando NU

Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar saat pembukaan Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama di Pesantren Darussaadah Lampung Tengah (Foto: Panitia Muktamar)

Lampung, NU Online 

Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar mengatakan bahwa sistem komando NU disimbolkan dengan tongkat Nabi Musa as. Pasalnya, dulu ketika Syakhona Cholil memberi isyarat kepada KH Hasyim Asy’ari menjelang pendirian Nahdlatul Ulama, dilakukan dengan memberikan tongkat dan surat Thaha ayat 17-23 yang berisi kisah tongkat kukjizat Nabi Musa as. 

 

"Tongkat mukjizat Nabi Musa itu menegaskan bahwa NU dilahirkan tiada lain kecuali untuk mengomando," katanya dalam Khutbah Iftitah Muktamar Ke-34 NU di Pesantren Darussaadah Lampung Tengah, Rabu (22/12/2021). 

 

Kiai Miftach menjelaskan, sampai sekarang pun tongkat menjadi simbol komando para panglima. Sebagai panglima tertinggi, misalnya, presiden juga memegang tongkat komando. 

 

Dengan demikian, harap Pengasuh Pondok Pesantren Miftsachus Sunnah, Surabaya itu, berdirinya NU bukan sekadar memperbanyak jumlah organisasi yang ada di masyarakat. Di samping untuk menjaga dan meluruskan nilai-nilai ahlussunnah wal jamaah, NU juga diharapkan menjadi 'sesakti' tongkat Nabi Musa. 

 

"Itulah harapan dari para pendiri Nahdlatul Ulama yang juga sudah dibuktikan oleh generasi terdahulu," ujar kiai kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu. 

 

Dengan itu, maka yang diharapkan oleh para pendiri NU adalah organisasi kemasyarakatan terbesar ini memiliki sistem komando yang disebut grand control. Artinya, sistem dan gerakan NU harus bisa melahirkan garis komando secara organisatoris dari PBNU sampai kepengurusan di tingkat anak ranting.

 

Sehingga, NU akan menjadi organisasi keagamaan dan sosial yang bergerak secara sistemik, proaktif, dan responsif, serta terus-menerus menebarkan kasih sayang (rahmatan lil alamin). Juga mampu menebarkan kemaslahatan di dunia sampai akhirat dan bersaing di segala bidang dengan organisasi-organisasi lainnya. 

 

"Kita wajib menjaga dan mengamalkan nilai-nilai ahlussunnah wal jama'ah. Juga mengembangkan nilai-nilai kebangsaan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," imbuhnya.

 

Kiai Miftach melanjutkan, ini merupakan kewajiban setiap anggota yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU. Pada tingkat pengurus, wajib memberikan arahan dan kontrol kepada anggota. Hal itu berlaku dalam situasi normal. Dalam situasi seperti sekarang, saat banyak kelompok ingin mengganti posisi NU dan mengikis ahlussunnah wal jamaah, maka kader-kader Nahdlatul Ulama harus berperan seperti tongkat Nabi Musa. 

 

"Kalaulah ada kader-kader NU menjadi 'ular-ular' seperti dalam ayat tersebut (Surat Thaha ayat 17-23), tujuannya hanya untuk dakwah amar ma’ruf nahi munkar, membasmi kezaliman, kemaksiatan dan kemungkaran," kata Kiai Miftach 

 

Berikutnya, Kiai Miftach mengatakan, kader-kader NU boleh menempati jabatan-jabatan strategis di publik. Seperti menjadi anggota legislatif, bupati, gubernur, atau mengisi jabatan publik apapun yang mampu menjadi kekuatan (ashabul qarar sekaligus ashabul haq). Tapi dengan catata, ini sebatas untuk mengajak kebaikan, meratakan kesejahteraan dan keadilan, bukan sebagai tujuan. 

 

Artinya, ketika sudah dianggap cukup dan diminta oleh Syuriyah dan masyayikh NU untuk kembali lebih aktif dan loyal di NU, lanjut Kiai Miftach, kader-kader tersebut harus patuh dan tunduk, sebagaimana tunduknya tongkat Nabi Musa ketika kembali menjadi wujud tongkat dalam genggaman pemiliknya setelah sebelumnya menjadi seekor ular. 

 

"Itulah sistem komando. Dan sikap pusaka kebanggaan NU adalah sami’na wa atha’na (kami tunduk dan patuh), sehingga supremasi Syuriyah mutlak," tegas Kiai Miftach. 

 

Selanjutnya, Kiai Miftach mengatakan, jika ada problem (musykilat) dalam tubuh NU, seperti perbedaan persepsi dalam menjalankan perkhidmatan dan mengalami deadlock maka kaidahnya adalah 'fain tanazaitum fi syai'in fa rudduhu ila AD/ART nahdlatil ulama' (jika terjadi konflik atas sesuatu, maka solusinya adalah kembali kepada AD/ART NU). 

 

"Maka, NU hadir sebagai jamiyah diniyah ijtimaiyah yang ber- ilmiyah amaliyah dan amaliyah yang ilmiyah," pungkasnya. 

 

Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Kendi Setiawan