Nasional

Rais PBNU: Beragama Harus dengan Ilmu, Bukan Nafsu

Rab, 9 September 2020 | 11:00 WIB

Rais PBNU: Beragama Harus dengan Ilmu, Bukan Nafsu

Ilustrasi beragama

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin mengajak seluruh masyarakat untuk beragama dengan benar. Dalam beragama, umat Islam harus terus belajar menuntut ilmu melalui ustadz atau guru yang jelas silsilah keilmuannya. Jangan sampai beragama hanya bermodal semangat dan nafsu saja.


"Beragama harus dengan ilmu, bukan dengan hawa nafsu. Beragama dengan ilmu tentu membutuhkan akal yang cerdas dan jiwa yang waras agar amanah dalam menyampaikan ajaran agama," katanya kepada NU Online, Rabu (9/9).


Beragama dengan ketundukan kepada hawa nafsu, lanjut dia, telah terbukti membawa manusia ke jalan hidup yang arahnya tiada menentu. Kerusakan yang diakibatkan oleh beramal atas nama agama tanpa ilmu saat ini sampai dalam taraf yang menakutkan. 


"Agaknya agama oleh sebagian orang sudah mulai banyak disalahgunakan, seperti untuk meraih kekayaan, kekuasaan dan popularitas. Terbukti banyak penipuan untuk meraih materi duniawi dengan berkedok agama," ungkapnya.


Dalam situasi seperti ini, setiap individu umat Islam yang ingin selamat dunia akhirat harus lebih berhati-hati dan selektif dalam memilih bacaan, tuntunan, dan atau pengajar ilmu-ilmu agama. 


Selain memerlukan bimbingan intensif dan penjelasan dari ulama yang otoritatif, untuk memahami ajaran agama Islam dengan benar dari sumber aslinya berupa Al-Qur'an dan al-Hadits serta kitab para ulama, kata dia, juga perlu kemampuan ilmiah yang cukup.


"Untuk menjadi ahli agama, tidak cukup belajar agama secara otodidak. Tidak cukup hanya merujuk kepada buku-buku agama terjemahan. Bagi kalangan awam dalam hal agama, bahkan dalam hal apa saja, seharusnya mengikuti petunjuk para ahlinya. Tidak perlu ikut-ikutan berkomentar dan menjelaskan apa saja yang tidak dipahami," anjurnya.


Jadi, mengamalkan ajaran agama harus dengan ilmu, niat yang ikhlas dan akhlak mulia melalui bimbingan ulama yang terpercaya, dengan merujuk kepada referensi agama yang mu'tabarah (otoritatif). 


Menurut Kiai Ishom, sudah banyak ‘juru dakwah’ yang sesat dan menyesatkan karena menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dan atau hadits-hadits tanpa ilmu yang memadai atau hanya berdasarkan hawa nafsu saja dan bahkan nekad menerapkannya bukan pada tempat dan situasinya yang tepat.


Di antaranya ada yang belajar agama dengan niat dan motif yang tidak dibenarkan, seperti untuk mencari pengaruh di kalangan orang-orang awam. Sebagian mereka ada yang berniat untuk menarik simpati dan decak kagum kalangan awam. Bahkan, tanpa rasa berdosa mencari-cari ayat Al-Qur'an sekedar sebagai dalih untuk menyesatkan, mengkafirkan sesamanya.


"Dan di antara mereka juga tanpa rasa bersalah nekad menggunjing (ghibah) dan merendahkan kehormatan para ulama yang jauh lebih berilmu, lebih menjaga kehormatan, santun lagi lebih penyayang, lebih masyhur dan lebih luas manfaatnya dibandingkan dirinya," terangnya.


Semua itu adalah fenomena kasat mata yang mudah dijumpai dalam kehidupan nyata. Kiai Ishom pun mengajak semua elemen umat Islam untuk menyadarinya. 


Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Musthofa Asrori