Nasional

Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Hadapi 7 Tantangan

Rab, 6 Desember 2023 | 21:00 WIB

Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Hadapi 7 Tantangan

Direktur Eksekutif Institute for Research and Empowerment (IRE) saat menyampaikan hasil riset bersama INFID di Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (5/12/2023) sore.

Jakarta, NU Online

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Institute for Research and Empowerment (IRE) melakukan riset mengenai Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) yang sudah berjalan tiga tahun sejak ditandatanganinya Perpres Nomor 7 Tahun 2020.


Dalam risetnya, INFID dan IRE menemukan setidaknya ada tujuh tantangan yang dihadapi dalam implementasi program RAN PE. Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif IRE Dina Mariana dalam penyampaian hasil riset di Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (5/12/2023) sore.


Pertama, belum kuatnya akar RAN PE di tingkat daerah berupa Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (RAD PE) dipengaruhi kewenangan yang kabur, pengetahuan yang tidak komprehensif, dan kelembagaan yang belum kuat.


"Perlu diterjemahkan ke level daerah," kata Dina Mariana, peneliti, saat menyampaikan hasil risetnya.


Kedua, belum kuatnya pendekatan keamanan non-tradisional seperti pendekatan ekonomi, bina damai (peace building), budaya, dan sosial dalam implementasi RAN PE.


Ketiga, pengarusutamaan gender (PUG) termuat di bagian penjelasan dan lampiran RAN PE meski belum menjadi prinsip penting. Idealnya, PUG perlu dialamatkan jelas dalam pembentukan berbagai kebijakan turunan, pembangunan kelembagaan adil gender, penyusunan program dan tata kelola yang mempertimbangkan kepentingan dan kerentanan perempuan dan laki-laki, hingga penguatan pengetahuan dan kapasitas aktor yang mempertimbangkan keadilan gender.


Keempat, Sekretariat Bersama RAN PE berhasil membangun kolaborasi dan mekanisme kerja di tingkat K/L serta kemitraan dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) namun masih terfragmentasi baik di level K/L maupun OMS. Karenanya, Dina menegaskan pentingnya untuk melakukan reorkestrasi dalam membangun gerakan yang senada.


Kelima, inisiasi program di tingkat K/L, daerah dan OMS banyak berfokus pada Pilar I di mana K/L lebih pada pengembangan instrumen, sedangkan OMS pada program-program penguatan promosi, pengetahuan, kesadaran, dan integrasi sosial. Ia menyoroti banyaknya inovasi yang dilakukan OMS, tetapi sumber dayanya sangat terbatas dan rentan.


Keenam, pada aspek pengetahuan, meski mayoritas informan dan responden memahami kebijakan RAN PE, namun pengetahuan yang mereka miliki masih permukaan dan belum komprehensif sehingga berpengaruh pada capaian implementasi RAN PE, terutama di daerah.


Ketujuh, praktik baik implementasi RAN PE justru banyak ditemukan dalam kerja-kerja CSO melalui inisiasi program-program berbasis komunitas dan penguatan lokalitas dengan pendekatan kultural.