Nasional

RUU Omnibus Law Harus Membawa Kemaslahatan Bersama

Sab, 25 April 2020 | 17:15 WIB

RUU Omnibus Law Harus Membawa Kemaslahatan Bersama

RUU Omnibus Law tidak boleh mengabaikan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya. (Ilustrasi)

Surabaya, NU Online
Akademisi Universitar Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Ahmad Firdausi menyatakan bahwa RUU Omnibus Law bernilai penting dan bermanfaat bagi rakyat jika fokus pada tujuan universal dari suatu hukum.
 
"Kebaikan bersama (maslahah al-ammah) dipandang sebagai tujuan tertinggi dari penerapan suatu hukum dan tidak boleh mengabaikan tiga klasifikasi maslahah," katanya pada Diskusi Publik Menakar RUU Omnibus Law untuk Kemaslahatan Umat dan Kesejahteraan Rakyat.
 
Dalam diskusi yang diadakan secara virtual oleh Jaringan Santri Surabaya, Sabtu (25/4) ini, Ahmad Firdausi memaparkan jenis-jenis kemaslahatan bersama.
 
Pertama, Dharuriyyat yaitu maslahat yang bersifat primer, di mana kehidupan manusia tergantung padanya, baik aspek duniawi maupun agama. "Aspek ini tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan manusia, apabila unsur ini ditinggalkan maka akan terjadi ketimpangan dalam pelbagai aspek kehidupannya," ungkapnya.
 
Kedua, Hajiyyat yaitu mashlahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan manusia untuk mempermudah dalam kehidupan serta menghilangkan kesukaran maupun kesulitan. Ketiga, Tahsiniyyat, artinya mashlahat yang merupakan moral, dan itu dimaksudkan sebagai pelengkap.
 
Karena itu, Sekrertaris RMINU Jawa Timur itu menegaskan RUU Omnibus Law tidak boleh mengabaikan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya akan membangun hubungan harmonis antarumat manusia (hifdz al-diin); mewujudkan keadilan sosial (hifdz al-maal), penyelenggaraan dan pemerataan pendidikan (hifdz al-aql), perlindungan terhadap hak asasi manusia (hifdz al-ird), pembangunan hukum yang berkeadaban.
 
Pada diskusi yang sama, Ketua Sarbumusi H Syaiful Bahri Anshori menjelaskan bahwa Pemerintah mempunyai pandangan filosofis RUU cipta kerja di konteks menimbang dan mengingat bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, sejahtera, makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
 
"Negara memang perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi Hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak melalui cipta kerja," katanya.
 
Harapan pemerintah melalui cipta kerja adalah agar mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Agar RUU ini diterima masyarakat, ia menyarankan agar sesuai dengan preambul pembukaan UUD 45 serta mendengarkan suara masyarakat baik kalangan pengusaha mapun pekerja.
 
"Hal ini agar kemaslahatan itu berimbas bagi semua kalangan, tidak hanya sepihak dari para investor atau pengusaha," katanya.
 
Sementara itu, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember M Noor Harisuddin mencatat ada empat di antara 50 RUU tersebut merupakan Omnibus Law. Empat Omnibus Law yang juga akan masuk dalam prolegnas prioritas 2020 adalah RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Ia mengatakan, semestinya, kita semua terlibat agar Omnibus Law sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia. Ada beberapa yang dapat dilakukan. Pertama, melakukan pengawalan bahkan presser berbagai kalangan agar Omnibus Law sesuai harapan kita.
 
"Kedua, pembuatan DIM dari berbagai kalangan: akademisi, asosiasi buruh, pengusaha, dan sebagainya sebagai masukan agar undang-undang on the right track. Ketiga, pasal-pasal kontroversi sesungguhnya bisa mengabsurb pasal dalam UU sebelumnya misalnya UU No 13 Tahun 2003," urainya.
 
Apakah RUU Omnibus Law akan mengubah UU Jaminan Produk Halal No 33 tahun 2014? Demikian salah satu pertanyaan yang terlontar saat diskusi.
 
Menurut Prof Harisuddin, NKRI sudah syariah karena banyak produk UU yang mengakomodir hukum Islam. "Kita buka negara Islam tetapi negara melindungi kebebasan beragama orang Islam sedemikian rupa," katanya. Sehingga, lanjut dia, ada UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, UU Pengelolaan Zakat tahun 1998, Wakaf, Perbankan Syariaah, bahkan ada UU Jaminan Produk Halal yang dikeluarkan pada tahuh 2014.
 
"Yang terakhir ini alhamdulillah sudah di dok, tapi pada tahap implementasinya belum," tegasnya.
 
Ia juga mengatakan belum melihat ada indikasi yang tadi dikhawatirkan, yaitu menghilangkan UU Jaminan Produk Halal jika RUU Omnibus Law diterapkan. "Secara detail saya belum melihat indikasi itu," katanya
 
Ia meneruskan, jika misalnya ada diktum dalam UU ini yang menghilangkan kebebasan umat Islam untuk menjalankan agamanya dengan baik, nantinya bisa uji yudisial review di Mahkamah Konstitusi. Bahwa, UU ini sudah tidak melindungi kebebasan beragama rakyat Indonesia. "Saya tidak melihat indikasi itu baik ancaman menghilangkan Perda Syariah atau UU Produk Halal," tegasnya.
 
Senada, Ahmad Khoirul Anam, narasumber lainnya menambahkan jika terkait dengan UU Praduk Halal di draft RUU Omnibus Law itu, justru malah mempermudah proses perizinan.
 
"Karena tidak hanya bergantung pada MUI, nantinya ormas-ormas Islam yang berbadan hukum seperti NU, Muhammadiyah dan yang lain bisa ikut terlibat dalam proses ini. Secara teknis, justru malah lebih cepat," ungkapnya
 
Ia menegaskan, kekhawatiran masyarakat bahwa RUU ini akan menghapuskan UU No 3 tahun 2014 itu tidaklah benar. "Silakan nanti bisa dicek draftnya dengan detail terkait dengan 'Halal'," imbaunya.
 
Doktor Hukum Islam Pascasarjana UIN Jakarta ini mengatakan RUU Omnibus Law bukan menghapuskan UU Jaminan Produk Halal, tetapi mempercepat sertifikasi praduk halal. "Tidak hanya melalui Kemenag dan MUI tapi juga dari situ bisa didistribusikan ke Pemerintah, sehingga prosesnya lebih cepat," katanya.
 
Kontributor: Zainul Wafa
Editor: Kendi Setiawan