Nasional

Saptawikrama, 7 Strategi Jitu Tangkal Ekstremis Agama

Jum, 5 Januari 2018 | 13:40 WIB

Malang, NU Online
Merebaknya virus radikal dari sekolah hingga kampus merupakan fenomena serius yang akan merusak tatanan pendidikan Indonesia. Hal ini membuat Universitas Brawijaya Malang merasa perlu mengangkat tema Merawat Kebhinekaan dan Menangkal Radikalisme Dalam Bingkai Pancasila dalam rembug Budaya, Dies Natalis UB, Rabu (3/1).

Hadir dalam dialog kebangsaan itu, Benny Susetyo, Pr dan KH Agus Sunyoto. Keduanya merupakan dua tokoh Malang yang getol menggaungkan perdamaian dan menjaga nilai-nilai pancasila.

Bagi Romo Agus, ekstremis Agama dan paham radikal bisa di tangkal hanya dengan sistem pendidikan pesantren.

“Bagaimana mungkin kita dapat membangun kesadaran kebinekaan sementara sistem pendidikan kita dibangun pada arah penyeragaman? Dan penyeragaman itu dalam pendidikan Indonesia tidak hanya dilakukan secara fisik namun juga psikis,” papar Pengasuh Pesantren Global Tarbiyatul Arifin Malang itu di Studio UB TV, Jl Veteran, Ketawang Gede, Lowokwaru Malang.

Ketua Umum lembaga seniman budayawan muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU itu dengan tegas mengatakan, jika radikalisme bisa masuk kampus tak lain karena penyeragaman sistem misal; mahasiswa tunduk pada satu kebenaran yakni dosen, dan tidak boleh tidak.

Beda lagi dengan pesantren, yang open terhadap kebinekaan, bahkan mempersilahkan santri untuk memilih mursyid, dan ini merupakan ciri khas pendidikan leluhur yang sudah ada sejak zaman Majapahit. Sekolasentris yang selama ini dibangun hanya akan membuka cela paham radikal masuk dan menguasai kampus.

Dalam dialog yang dibanjiri peserta tersebut, Romo Agus, sapaan akrab Agus Sunyoto penulis buku Atlas Wali Songo itu menawarkan gagasan solutif dalam menangkal radikalisme yakni saptawikrama, 7 strategi kebudayaan Islam Nusantara:

• Menghimpun dan mengosolidasi yang berbasis adat istiadat, tradisi dan budaya Nusantara.

• Mengembangkan model pendidikan sufistik (tarbiyah wa ta’lim) yang berkaitan erat dengan realitas di tiap satuan pendidikan, terutama yang dikelola oleh lembaga pendidikan formal (ma’arif) dan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI).

• Membangun wacana independen dalam memaknai kearifan lokal dan budaya Islam Nusantara secara ontologis dan epistemologis keilmuan.

• Menggalang kekuatan bersama sebagai anak bangsa yang bercirikan Bhineka Tunggal Ika untuk merajut kembali peradaban Maritim Nusantara.

• Menghidupkan kembali seni budaya yang beragam dalam ranah Bhineka Tunggal Ika berdasarkan nilai kerukunan, kedamaian, toleransi, empati, gotong royong, dan keunggulan dalam seni, budaya dan ilmu pengetahuan.

• Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk membangun gerakan Islam Nusantara.

• Mengutamakan prinsip juang berdikari sebagai identitas bangsa untuk menghadapi tantangan global

Senada dengan apa yang disampaikan Romo agus, Romo Benny, selaku pastor dan aktivis penggerak kesadaran kemanusiaan menginginkan mahasiswa harus kritis dalam memilih organisasi.

“Juga para aktivis kampus harus membangun komunitas-komunitas lintas agama untuk menjaga kebhinekaan dan perdamaian di kampus,” ujar Romo Benny. (Diana Manzila/Fathoni)