Nasional

Sedang Jalani Iddah, Bolehkah Perempuan Laksanakan Haji?

Rab, 7 Juni 2023 | 09:00 WIB

Sedang Jalani Iddah, Bolehkah Perempuan Laksanakan Haji?

Anggota Lembaga Bahtsul Masail PBNU Nyai Hj Iffah Umniyati Ismail di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Selasa (6/6/2023). (Foto: NU Online/Naufa)

Jakarta, NU Online

Sebagaimana diketahui, dalam ajaran Islam, perempuan yang bercerai atau ditinggal mati suaminya harus menjalani masa iddah. Kewajiban iddah ini ditegaskan dalam sumber primer Islam seberti Al-Quran, Hadits Nabi Muhammad saw, dan juga pembahasan para ulama dalam kitab-kitab fiqih.


Dalam konteks ibadah haji, menjadi pertanyaan perihal haji bagi orang yang tengah menjalani masa iddah tersebut. Anggota Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Nyai Hj Iffah Umniyati Ismail, menjelaskan bahwa riwayat yang masyhur di kalangan mayoritas ulama Syafi’iyyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, menyebut bahwa perempuan yang sedang beriddah tidak boleh melaksanakan haji.


Nyai Iffah mengutip pendapat Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Az-Zawaajir yang mengatakan bahwa keluar rumah tanpa kebutuhan yang dibolehkan syariat termasuk dosa besar. “Bahkan Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan, perempuan (yang sedang iddah) yang keluar dari rumahnya tanpa ada udzur, tanpa ada hajat, itu termasuk kaba-ir (dosa besar),” jelasnya, kepada NU Online, Selasa (6/6/2023).


Meskipun demikian, lanjutnya, ada riwayat lain yang menyebut kebolehan perempuan berhaji saat masa iddah. Sayyidah ‘Aisyah pernah mengajak haji saudaranya Umi Kulsum yang merupakan istri dari sahabat Thalhah bin Ubaidillah.


“Saat itu sahabat Thalhah baru terbunuh. Kemudian Sayyidah ‘Aisyah mengajak saudarinya untuk berhaji. Padahal beliau dalam masa iddah,” terang Pemegang gelar doktor di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, itu.


Kemudian, ada juga riwayat yang mengatakan Sayyidah ‘Aisyah memang pernah memberikan fatwa bolehnya perempuan yang sedang beriddah untuk haji. “Nah, ini juga kemudian diambil, dijadikan fatwa oleh Ibnu Hazm, yang mengatakan bahwa perempuan beriddah itu boleh haji,” imbuh pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Dari dua pendapat berbeda itu, Ustadzah Iffah menyarankan sebaiknya kita tetap mengikuti pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang mengatakan perempuan beriddah tidak usah berhaji. “Kenapa? Karena haji itu adalah kewajiban yang sifatnya itu boleh tidak secepatnya, artinya boleh ditunda. Tetapi, iddah itu hanya berlaku pada 4 bulan 10 hari, misalnya, bagi perempuan yang ditinggal (mati) oleh suaminya,” jelas peminat kajian Ushul Fiqh ini, memberi alasan.


Oleh karena itu, riwayat yang menjelaskan kebolehan haji bagi perempuan yang tengah menjalani masa iddah bisa digunakan dalam hal-hal seperti sekarang ini. Misalnya, sekarang untuk mendaftarkan haji, setelah menunggu sekian lama, kemudian pada saat datang panggilan untuk haji tetapi pada masa iddah. Ada hal-hal tertentu yang membuat perempuan itu menjadi sulit, seperti kesehatannya semakin berkurang.


“Atau, misalnya, untuk melaksanakan prosedur yang sangat sulit sehingga bisa menunda haji, qaul atau pendapat kedua ini saya kira tetap bisa dipakai. Hanya memang kalau memungkinkan untuk menunda, maka sebaiknya kita mengikuti pendapat jumhur yang mengatakan bahwa perempuan yang beriddah tidak boleh berhaji,” pungkasnya.


Kontributor: Ahmad Naufa
Editor: Syakir NF