Nasional

Sejumlah Pasal UU ITE Jilid II yang Berpotensi Batasi Kebebasan Berpendapat dan Kritik

Jum, 12 Januari 2024 | 09:00 WIB

Sejumlah Pasal UU ITE Jilid II yang Berpotensi Batasi Kebebasan Berpendapat dan Kritik

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Pemerintah resmi memberlakukan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun materi yang tertuang dalam UU ITE Jilid II masih menuai kritik dari berbagai kalangan karena dinilai banyak potensi kriminalisasi, membatasi kebebasan berpendapat, dan sikap kritis. 


Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) mengungkapkan bahwa revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, pemutusan akses, hingga penutupan akun media sosial. 


"Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia," kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur.


Pasal-pasal bermasalah

Pasal-pasal bermasalah itu antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.


DPR bersama Pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. "Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran," ujarnya.


Berikut sejumlah pasal yang dinilai bermasalah

Pasal 27B ayat (1) menyebutkan, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:


a. Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain, 

b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang. 


Pasal 27B ayat (2) menyebutkan, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:


a. Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain, 

b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.


Selain itu, ada juga pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal ini dinilai berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.


Pasal 28 ayat (3) menyebutkan, Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.


Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan melanggar hukum.


UU ITE Jilid II juga ternyata memberi wewenang bagi penyidik kepolisian untuk menutup akun media sosial seseorang. Hal itu ditambahkan dalam Pasal 43 huruf (i). "Memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara. Terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan atau aset digital."


Pasal 45A menyebutkan, Setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian material bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Pasal 45 ayat (1) menyebutkan, Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Pasal 45A ayat (2) menyebutkan, Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Pasal 45A ayat (3) menyebutkan, Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Pasal 45B menyebutkan, Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut- nakuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)."


Pemerintah ingin jaga ruang digital lebih kondusif

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan pengesahan UU 1/2024 dilakukan karena pemerintah ingin menjaga ruang digital menjadi lebih kondusif.

 

"Yang pasti kan Pemerintah ingin menjaga ruang digital kita lebih kondusif dan lebih berbudaya,"  ujarnya dikutip dari Antara.


Dia menampik anggapan bahwa kewenangan pemerintah terlalu besar dalam UU 1/2024. Mengenai ada atau tidaknya pasal bermasalah, Budi mengatakan masyarakat nanti dapat memberikan respons.

 

"Nanti kan. Ini kan sudah diberlakukan, diketok, diundangkan, dan kita lihat respons masyarakat. Ya, nanti kami diskusikan," kata Budi.


Budi menegaskan tidak sependapat dengan anggapan bahwa UU ITE dimanfaatkan untuk mengkriminalisasi masyarakat. Baginya, Indonesia adalah negara demokrasi dan Pemerintah membuka ruang bagi kelompok sipil untuk berdiskusi.

 

"Ya, pasti dong, kan ada case-nya, apa. Kami enggak mau semena-mena kan. Ini negara demokrasi, kita perjuangkan susah payah loh, masa demokrasi kita jadi caci-maki dan sumpah serapah," tandas Budi.