Nasional

Belajar dari Kasus Haris-Fatia, Revisi UU ITE Tambah Potensi Kriminalisasi?

Rab, 10 Januari 2024 | 07:00 WIB

Belajar dari Kasus Haris-Fatia, Revisi UU ITE Tambah Potensi Kriminalisasi?

Pakar Hukum Pidana dan Kriminologi dari Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Affandi. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Pakar Hukum Pidana dan Kriminologi dari Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Affandi mengatakan Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menambah potensi kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang masih besar. 


"UU ITE terbaru ini menciptakan kekacauan. Revisi yang kedua justru menghidupkan lagi pasal-pasal yang bermasalah bahkan ada pasal membuat keonaran online yang sudah ada di KUHP masuk dalam draf UU ITE," kata Affandi kepada NU Online, Selasa (9/1/2024).


Misalnya Pasal karet seperti Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat 1 dan 2, serta Pasal 45 di UU ITE mengancam demokrasi, terutama kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. 


Beberapa pasal yang dianggap bermasalah, termasuk Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan atau pencemaran nama baik, masih dipertahankan, yang sebelumnya kerap digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis, aktivis, dan masyarakat.


Affandi menekankan bahwa revisi ini menunjukkan penyempitan ruang publik dan berpotensi menimbulkan masalah perlu direvisi lagi atau diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).


"Pasal karetnya lebih banyak lagi di situ. Ini juga mengindikasikan menyempitnya ruang publik. Banyak potensi masalah," kata Affandi.


Affandi menyoroti putusan bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan.


"Itu pasal karet dalam UU ITE yang digunakan menjerat Fatia dan Haris meskipun ada SKB 3 Menteri, tidak terlalu digubris oleh penegak hukum. Syukur lah Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis bebas itu bukan tindak pidana," terangnya.


Berkaca dari vonis bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang menggunakan pasal karet UU ITE terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menunjukkan bahwa kritik terhadap pejabat semakin sulit, padahal itu penting bagi keberlangsungan demokrasi.


"Kasus Haris-Fatia menunjukkan kasus pejabat kita semakin susah untuk dikritik. Terakhir ada peneliti BRIN yang ngomong kalau TKA China lebih banyak itu ditantang pejabat. Ini semakin mengecilkan ruang lingkup kritik padahal itu penting dalam negara demokrasi," imbuhnya.


Selain itu, pengaturan Pasal 40 yang berpotensi digunakan sebagai dasar untuk praktik kesewenang-wenangan pemerintah dalam memblokir, memutus akses internet secara ilegal atau melabel hoaks konten-konten publik. Kewenangan besar pemerintah yang diberikan melalui pasal ini dikhawatirkan akan menjadi alat sensor informasi dan suara kritis publik.


Masih dipertahankannya pasal-pasal bermasalah dalam momentum penting revisi UU ITE ini, lanjut Affandi, tentu menjadi keprihatinan publik karena ketentuan yang ada di dalamnya masih berpotensi menambah daftar panjang kasus kriminalisasi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga negara.


"Kegagalan menghapus pasal-pasal bermasalah tersebut akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan revisi UU ITE untuk dekriminalisasi pasal-pasal yang mengancam hak asasi manusia khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi," tandasnya.


Sepanjang 2020-2022 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menangani 199 kasus terkait pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. 


Beberapa kasus itu antara lain: pemutusan akses internet secara ilegal di Papua oleh Kominfo, dan kriminalisasi aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang menyuarakan adanya konflik kepentingan pejabat publik dalam bisnis tambang di Papua.


YLBHI menilai dari kasus-kasus itu, UU ITE seringkali dijadikan dasar pelaporan dan senjata penguasa untuk membungkam suara kritis warga negara termasuk jurnalis.