Nasional

Pengamat: Perlu Edukasi dan Objektivitas Penegak Hukum Terkait UU ITE

Jum, 26 Februari 2021 | 11:00 WIB

Pengamat: Perlu Edukasi dan Objektivitas Penegak Hukum Terkait UU ITE

Padahal UU ini di sisi lain sangat berguna untuk menyelesaikan persoalan seperti penipuan berbasis elektronik.

Jakarta, NU Online
Rencana pemerintah untuk meninjau kembai UU ITE mendapat tanggapan dari Direktur Drone Emprit Academic, Ismail Fahmi. Ia berpendapat bahwa UU ITE selama ini banyak disalahgunakan sehingga menyebabkan masyarakat banyak dirugikan oleh UU tersebut. Fenomena ini membuat masyarakat antipati pada UU tersebut. Padahal UU ini di sisi lain sangat berguna untuk menyelesaikan persoalan seperti penipuan berbasis elektronik.


Untuk itu, Ia mengusulkan agar pemerintah terutama kepolisian memberikan edukasi pada masyarakat mengenai UU ITE, termasuk apa saja jenis kasus yang bisa dikenakan atau tidak dikenakan UU tersebut. Edukasi ini, menurutnya bisa menggunakan platform media sosial yang dimiliki oleh pemerintah.


“Itu salah satu edukasi melalui aparat kepolisian. Dari situ kemudian orang-orang yang mengikuti akun-akun milik Polri ini kan kemudian akan belajar. ‘oh ternyata yang seperti ini yang melanggar’. Dari situ saja sebenarnya termasuk dalam proses belajar langsung, jadi penegak hukum mengedukasi masyarakat,” ujar Ismail Fahmi di Jakarta, Jumat (26/2).


Pada platform itu juga masyarakat bisa berinteraksi dan bertanya tentang kejelasan sebuah perkara misalnya UU ITE. Menurutnya, jika hal tersebut betul-betul dijalankan maka akan sangat bagus karena akan membuat masyarakat belajar dengan sendirinya.


“Memang saat ini banyak orang saling lapor menggunakan UU ITE ini. Tetapi sebelum ada UU ITE ini pun juga sudah demikian, menggunakan KUHP, seperti menggunakan pasal perbuatan tidak menyenangkan untuk melaporkan orang lain,” jelasnya.


Kendati UU ini sangat bermanfaat untuk menyelesaikan kasus penipuan elektronik dan sejenisnya,hanya saja menurut lulusan Universitas Groningen, Belanda ini, pelaporan terkait UU ITE ini yang justru banyak dibahas di media. Fenomena ini yang menyebabkan masyarakat memprotes keberadaan UU ini. Belum lagi, lanjutnya, jika dilihat dari statistiknya, justru banyak dari pejabat dari pemerintah itu sendiri yang melakukan pelaporan dengan menggunakan UU ITE.


“Jadi masyarakat sebenarnya perlu dikasih tahu juga bagaimana supaya kemudian tidak sampai terkena UU ITE ini. Karena kadang-kadang dia tidak tahu informasi yang diterima itu hoaks kemudian dia share. Dan kebetulan polisi juga lagi patroli untuk bersih-bersih, akhirnya ya kena dan ketangkep,” terang dia.


Kunci lain dalam mendudukkan UU ITE ada di penegak hukum, yang secara objektif bisa menentukan mana perkara yang dapat dijerat dan tidak dapat dijerat dengan UU ITE. Menurutnya, aparat penegak hukum bisa menerima atau menolak setiap pelaporan yang masuk.


“Orang mengkritik misalnya karena dia nggak puas dengan perusahaan atau lainnya, itu kan kalau dilaporkan dan laporannya diterima oleh polisi maka langsung kena. Tapi kalau kemudian lebih selektif, dipanggil dulu tidak sampai diproses itu kan sebetulnya bisa. Jadi ya itu, saya kira yang paling dekat yang bisa dilakukan sebelum revisi UU ITE ini,” ujarnya.


Jangan gunakan Buzzer untuk sosialisasi dan edukasi


Di samping itu, ia mengimbau pemerintah melakukan sosialisasi dan edukasi dengan menggunakan instrumen yang otoritatif. Ia mengingatkan agar pemerintah tidak melibatkan influencer dan buzzer dalam melakukan sosialisasi. Sebab menurut pengalamannya, keberadaan buzzer di media sosial tidak membuat sebuah perkara menjadi jelas, namun justru malah menjadi gaduh.


“Mereka kan dibayar untuk mengangkat citra tuannya dan menyerang lawannya, kedua belah pihak sama dan akhirnya mau tidak mau ya terjadi polarisasi. Pemerintah pun juga sama, sudah ada bagian Humas, ada bagian PR, tidak perlu lagi ada buzzer untuk membantu mempromosikan,” tandasnya.


Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin