Nasional

Semangat Toleransi Harus Terus Diberikan kepada Kelompok Rentan Terpapar Intoleransi

Rab, 8 Januari 2020 | 08:00 WIB

Semangat Toleransi Harus Terus Diberikan kepada Kelompok Rentan Terpapar Intoleransi

Alamsyah M. Dja'far (Foto: Wahid Ffoundation)

Jakarta, NU Online 
Pada tahun 2019 lalu Bangsa Indonesia berhasil melewati tantangan kebangsaan melalui proses kontestasi demokrasi. Tahun 2019 disebut sebagai tahun politik dengan ragam dinamika persoalan yang menguak emosi dan persinggungan identitas di ruang publik.

Untuk itulah di tahun 2020 bangsa ini harus keluar dari lubang intoleransi, sekat primordial dan ujaran kebencian demi merekatkan kembali persaudaraan antarsesama warga bangsa.

Peneliti senior dari Wahid Foundation, Alamsyah M. Djafar mengatakan bahwa dalam menyemarakkan semangat toleransi dan antiradikalisme, di tahun 2020 ini seharusnya diprioritaskan kepada kelompok yang rentan terpapar intoleransi agar tidak terjerumus lebih jauh.
 
“Jadi kalau kaitannya dengan toleransi dan intoleransi harus ada prioritas yang menyasar kelompok-kelompok yang rentan terpapar intoleransi. Misalnya yang tepapar kelompok-kelompok kelas menengah yang memiliki pilihan politik tertentu, kemudian kita sering mendapatkan informasi-informasi yang berisi kebencian dan lain sebagainya,” ujar Alamsyah di Jakarta, Rabu (8/1).
 
Selain itu menurut Alamsyah, menyampaikan narasi alternatif tentang toleransi, perdamaian dan anti radikalisme kepada kalangan masyarakat juga sangat penting demi memperkuat persaudaraan antarsesama warga bangsa. Tinggal selanjutnya menentukan siapa mereka dan bagaimana media yang tepat untuk menyasar kelompok-kelompok yang rentan ini.
 
“Misalnya kepada kelompok ormas yang menggunakan cara-cara kekerasan atau bisa jadi penyampaian narasinya adalah bisa dilakukan oleh para mantan pelaku yang sudah tidak lagi tergabung dengan kelompok ‘keras’ tersebut atau dia sudah ‘tobat’ dari perbuatan kekerasan yang pernah dilakukanya,” kata pria yang juga pernah menjadi Program Manager Wahid Foundation ini.

Lebih lanjut Alamsyah juga mengungkapkan, untuk menyampaikan narasi toleransi, perdamaian dan antiradikalisme juga bisa dilakukan oleh para tokoh baik itu tokoh bangsa, tokoh masyarakat maupun tokoh agama yang selama ini telah menjdi panutan masyarakat. Apalagi jika para tokoh tersebut memiliki media sosial (medsos) dan sering memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk mengajak bertoleransi
 
“Jadi, masyarakat bisa mendapatkan narasi toleransi dan perdamaian dari tokoh-tokoh panutannya. Jika tidak dapat bertemu dari tokoh tersebut, saya kira bisa melalui media sosial yang mana mereka bisa langsung mengaksesnya. Apalagi kalau tokoh yang menjadi panutan tersebut sering memberikan narasi perdamaian melalui media sosial dan memiliki banyak follower,” kata pria yang sedang menyelesaikan pasca Sarjana di School of Government and Public Policy (SGPP) tersebut..
 
Kemudian menurutnya, bisa saja ada pertanyaan bagaimana kalau mereka ini tidak memiliki panutan atau tokoh di lingkungan masyarakatnya. Tetapi Alamsyah mengungkapkan bahwa kecil kemungkinan masyarakat tidak memiliki tokoh panutan atau seseorang yang ditokohkan di lingkungan masyarakat.
 
“Jadi asumsi saya di dalam masyarakat itu selalu ada struktur kepemimpinan. Kita harus menemukan kelompok yang akan kita sasar kemudian kita bisa menyasar mereka. Jadi artinya menurut saya, kalau kita mau untuk efektif melakukan gerakan anti radikalisme atau anti intoleransi, maka kita harus berbasis pada data menyasar dari para tokohnya,” tutur mantan Program Officer Riset dan Advokasi Wahid Foundation
       
Selain itu dirinya juga berpendapat bahwa pemerintah juga memiliki peran penting untuk mengajak masyarakat untuk bersama-sama secara terus menerus menggelorakan semangat toleransi dan antiradikalisme. “Kalau dari segi kampanye itu saya kira perlu peran pemerintah dan itu biasanya terus dilakukan,” ujarnya.
 
Namun demikian menurutnya, dari segi efektivitas ataupun dampak, pemerintah harus mulai berpikir mengenai tindakan-tindakan yang istilahnya mengurangi praktik-praktik diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
 
“Selain itu pemerintah juga mengurangi peraturan-peraturan yang diskriminatif, kebijakan kebijakan atau penyataan-pernytaan yang diskriminatif. Dan itu menurut saya dampaknya akan lebih produktif,” ujar alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri (UIS) Syarif Hidayatullah Jakarta ini
 
Selain peran dari pemerintah, menurutnya perlu juga peran dari lembaga pendidikan untuk memperkuat toleransi di kalangan para lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri. Selama ini pihaknya di Wahid Foundations bersama dengan sekolah-sekolah negeri telah mengembangkan Sekolah Damai sebagai upaya untuk mendukung penguatan toleransi di sekolah-sekolah.
 
Dirimya menjelaskan, dalam Sekolah Damai ini indikatornya adalah apakah sekolah-sekolah tersebut telah mengeluarkan kebijakan yang mendukung pemguatan toleransi di sekolah masing-masing dan apakah ada praktek-praktek toleransi di lingkungan sekolah.
 
“Jadi bukan hanya deklarasi ataupun kampanye saja dalam pengertian yang biasa. Tapi praktik seperti itu sebuah langkah kongrit dalam membangun semangat toleransi melalui dunia pendidikan dan mempunyai dampak yang sangat luar bissa bagi psikologi anak. Nah kalau gerakan ini dilakukan sangat massif oleh sekolah-sekolah, tentunya hal tersebut akan lebih baik dalam membangun semangat toleransi,” katanya mengakhiri.
 
Editor: Abdullah Alawi