Nasional

Sempat Ada Penunjukan Gubernur Jakarta di Era Sukarno, Sejarawan: Semangat Zamannya Berbeda

Sab, 9 Desember 2023 | 07:00 WIB

Sempat Ada Penunjukan Gubernur Jakarta di Era Sukarno, Sejarawan: Semangat Zamannya Berbeda

Ilustrasi Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) pasal 10 ayat 2 mengatur Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta tidak lagi dipilih oleh rakyat, melainkan ditunjuk oleh Presiden. Dalam sejarahnya, hal demikian memang pernah terjadi di masa kepemimpinan Sukarno. Saat itu, Sukarno sempat menunjuk Henk Ngantung, Soemarno Sosroatmodjo, dan Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta. 


Menanggapi hal itu, Sejarawan JJ Rizal menyampaikan bahwa di masa kepemimpinan Sukarno dahulu, tentu ada zaman dan tantangan tersendiri. Hal ini berbeda dengan Presiden Joko Widodo. Ia melihat permasalahan di zaman Sukarno tidak sesulit seperti zaman Joko Widodo terutama dalam melihat jumlah dan kualitas penduduknya.


"Apa mau disetarakan Jokowi dengan Sukarno? Itu bumi langit menurut saya. Kedua zaman Sukarno itu yang menurut saya semangat zamannaya berbeda seperti saat ini, enggak bisa kita ulang, semangat zaman Sukarno dengan hari ini. Zaman Sukarno masalahnya tidak sekompleks hari ini. Hari ini penduduknya dan pada zaman Sukarno berapa? Hari ini kan hampir 3 kali lipat," katanya kepada NU Online, Jumat (8/12/2023) sore.


Rizal mengatakan bahwa kompleksitas masalah hari ini jauh lebih tinggi, sehingga diperlukan perluasan demokrasi. Menurutnya, penujukan gubernur oleh presiden tidak dapat dijadikan alasan, dan kualitas manusia yang terlibat dalam pemilihan memiliki perbedaan. Dirinya menjelaskan bahwa kemungkinan pada era Sukarno memiliki alasan untuk memilih Henk Ngantung, begitu juga dengan alasan pemilihan Ali Sadikin. 


"Problemnya jauh lebih kompleks gitu, jadi ada perluasan demokrasi begitu. Menurut saya, tidak bisa dijadikan alasan, dan kualitas manusia yang memilih itu berbeda. Sukarno mungkin memiliki alasan memilih Henk Ngantung, begitu juga dengan alasan memilih Ali Sadikin. Kalau hari ini emang tidak punya alasan, karena hari ini tidak punya pikiran yang memilih," jelasnya.


Dalam pandangannya, JJ Rizal menyatakan perlunya memahami hakikat kota sebelumnya. Baginya, kota dianggap sebagai entitas yang didiami oleh warganya, yang pada dasarnya mencerminkan keberagaman. Keberagaman ini, menurutnya, hanya bisa diatasi melalui demokrasi, dan tidak dapat dihadapi dengan menggunakan pendekatan otoritarian.


"Bagaimana kita mau memiliki mimpi sebagai kota, sebagai bumi manusia dengan keberagaman kalau dilakukan dengan satu sistem yang dijalankan dengan otoritarianistik itu tidak akan menjadi kota. Itu hanya menjadi markas dagang," ungkapnya.


Jika Terwujudnya RUU DKJ

JJ Rizal menolak keras RUU DKJ itu, Ia mengatakan bahwa jika dibiarkan akan menjadi cermin bahwa Orde Baru dibiarkan bangkit. Rizal menyiratkan bahwa situasi tersebut mencerminkan sikap penolakan terhadap semua sifat yang tidak demokratis, otoritarianistik, dan rasialis. 


"Ini mencerminkan adanya tindakan yang bersifat fasistik dan otoritarian, serta kurangnya pemahaman terhadap sejarah, terutama nasionalisme sebagai konsep yang berlawanan dengan kolonialisme. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan adanya penolakan terhadap semua sifat yang tidak demokratis, otoritarianistik, dan rasialis," pungkasnya.