Nasional HAUL KE-13 GUS DUR

Sempat Jualan Kacang dan Es Lilin, Nyai Sinta: Tak Ada Pekerjaan Hina

Ahad, 18 Desember 2022 | 07:00 WIB

Sempat Jualan Kacang dan Es Lilin, Nyai Sinta: Tak Ada Pekerjaan Hina

Istri Gus Dur, Nyai Hj Sinta Nuriyah dalam Haul ke-13 Gus Dur di Ciganjur, Jaksel, Sabtu (17/12/2022) malam. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Istri mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nyai Hj Sinta Nuriyah, mengisahkan pengalamannya di awal-awal mendampingi sang suami. Ketika itu, Gus Dur masih sibuk mengelola Pesantren Tebuireng dan belajar kepada kakeknya, KH Bisri Syansuri.


“Otomatis Gus Dur kehabisan waktu. Akibatnya tidak punya waktu untuk keluarga,” ungkap Nyai Sinta dalam Haul ke-13 Gus Dur bertajuk Gus Dur dan Pembaharuan NU di Pesantren Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (17/12/2022) malam.


Di sisi lain, dari waktu ke waktu, anak Gus Dur bertambah. Karena tak punya waktu untuk mengurus rumah tangga, terpaksa Nyai Sinta harus berbuat banyak. Ia ikut mengajar di Universitas Hasyim Asy’ari dan Universitas Darul Ulum, Jombang. Tetapi, ia mengaku gaji yang diterima hanya cukup untuk transportasi. Sementara kebutuhan keluarga semakin bertambah.


“Maka, saya memutuskan untuk membantu belanja keluarga dengan menjual kacang goreng dan es lilin,” ungkap Nyai Sinta didampingi putri-putrinya.


“Jadi di sini, maksud saya, perempuan-perempuan enggak usah risau, enggak usah kecil hati, enggak usah cemas menghadapi semua itu. Perempuan selalu ada di garis depan untuk merebut kehidupan umat manusia,” imbuhnya, diiringi tepuk tangan hadirin.


Perempuan kelahiran Jombang, 8 Maret 1948 itu merasa bahwa ketika suaminya sibuk, sementara keluarga harus tetap dan terus berjalan, anak-anak harus terus dibesarkan, disekolahkan agar menjadi orang pandai dan berguna bagi bangsa, agama, dan negara, maka sebagai istri ia tidak boleh menyerah begitu saja.


“Saya harus bangkit untuk merebut semuanya itu, menyelamatkan semuanya itu,” kata Nyai Sinta mengisahkan.


Nyai Sinta pun tiap malam menggoreng kacang dengan pasir, lalu dibungkus dengan kantong. Tiap kantong dihitung jumlah kacangnya. Hal itu ia lakukan agar jangan sampai kantong satu dengan yang lain berbeda jumlahnya sehingga ada kelebihan.


Jika kelebihannya banyak dan beberapa kali, tentu menjadi satu kantong lagi, dan itu ada harganya. Selain kacang goreng, ia juga membuat es lilin yang akan dibawa anak-anak untuk dijajakan ke kampung atau tempat-tempat yang lain.


“Jadi jangan kok, ‘ih rendah sekali, masa harus jualan kacang, jualan es,’ terus minder, atau merasa terhina. Enggak. Tidak ada pekerjaan yang hina di depan Tuhan,” tuturnya.


“Karena Nabi pernah ditanya oleh seorang sahabatnya: ‘Pekerjaan apa yang paling mulia, ya Rasulallah?’ Jawabannya adalah: ‘Pekerjaan yang dilakukan dengan keringat dan tanganmu,’ begitu kata Rasulullah,” imbuh pendiri Yayasan Puan Amal Hayati itu.


Ketika pindah ke Jakarta, sambung Nyai Sinta, Gus Dur kian hari kian tidak pernah di rumah. Otomatis urusan anak, bajunya, sekolahnya, rumah tangga dan sebagainya, menjadi tanggung jawab dirinya.


“Untungnya, saya memang dibekali untuk bisa membuat baju sendiri. Jadi anak-anak saya bikinkan baju sendiri. Saya potong kain, kemudian dijahit sendiri, menjadi baju-baju anak-anak. Saya potong rambut anak-anak sendiri. Bahkan, rambut Gus Dur pun saya yang motong,” papar penulis Perempuan dan Pluralisme (LKiS: 2019) itu.


Oleh karenanya, menurut Nyai Shinta, perempuan adalah tokoh sentral dalam kehidupan umat manusia. Ia menitip kata untuk ibu-ibu, menjelang Hari Ibu yang diperingati tiap 22 Desember.


“Rasulullah pernah bersabda, bahwa siapa yang harus dimuliakan, siapa? Ibu. Kemudian siapa? Ibu. Kemudian siapa? Ibu. Karena itu, pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada semuanya, marilah kita hargai dan kita lindungi perempuan,” ajak Nyai Shinta.


“Bukan karena kita hadir di muka bumi ini melalui mereka, tetapi mereka adalah malaikat-malaikat yang nyata. Namun mengapa, sosok yang bergelimang kelembutan itu selalu bersimbah dengan ketertindasan? Itulah yang kalian panggil perempuan,” sambungnya.


Kualitas keluarga
Sahabat karib Gus Dur, KH A Mustofa Bisri, didaulat memberi ceramah dalam kesempatan ini. Di antara yang dikisahkan, pernah ia menyampaikan kepada Gus Dur tentang hadits nabi, bahwa semua punya hak, termasuk tubuh sendiri dan keluarga.


“(Kenapa) keluarga sampean, sampean tinggal-tinggal?” kata Gus Mus, sapaan akrabnya.


“Lho, sampean saksikan sendiri nanti lah. Meskipun saya jarang-jarang ketemu keluarga, tapi kualitasnya,” jawab Gus Dur ditirukan Gus Mus.


Gus Mus kemudian menyaksikan sendiri bagaimana sikap Gus Dur ketika ‘quality time’ bersama keluarganya, termasuk kepada anak-anaknya, yang menurutnya luar biasa. Ia tidak pernah melarang yang dilakukan anak, asal dapat menjelaskan tujuannya.


Hadir dalam kesempatan ini Imam Besar Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dan jajarannya serta para kiai, cendekiawan, pejabat, politisi, budayawan dan aktivis sosial.


Beberapa tokoh dengan berbagai latar belakang juga ditampilkan testimoninya, khususnya mereka yang dulu pernah dibela Gus Dur. Selain digelar secara luring, acara ini juga diikuti secara daring melalui live streaming.


Kontributor: Ahmad Naufa
Editor: Musthofa Asrori