Nasional

Senyum Santri Buntet Ubah Pandangan Pendeta Serbia

Ahad, 8 September 2019 | 03:30 WIB

Senyum Santri Buntet Ubah Pandangan Pendeta Serbia

M Abdullah Syukri, pengajar di Pondok Buntet Pesantren, saat berbicara pada diskusi publik 1.000 Abrahamic Circles di Gedung CCM, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (7/8). (NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online
Pendeta Wilayah Gereja Ortodoks Serbia Father Gligorije Markovic melihat foto murid-murid madrasah tidak ada satu pun yang tersenyum. Dia berpikiran bahwa para pelajar di perguruan Islam itu seakan tertekan.
 
Namun, pandangan yang demikian sirna seketika saat ia berkunjung ke Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat saat mengikuti 1.000 Abrahamic Circles bersama M Abdullah Syukri, seorang pengajar di pondok tersebut, dan Rabbi Howard Hoffman dari Denver, Colorado, Amerika Serikat.
 
"Ketika dia datang ke pesantren saya, kalian bisa lihat ke foto (ditunjukkan di layar), para santri seluruhnya menyunggingkan senyum," ujar M Abdullah Syukri yang langsung disambut gemuruh tepuk tangan saat diskusi publik dengan tema Let's Talk about Hate: Decoding Interfaith Dialogue di Gedung CCM, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (7/8) malam.
 
Abdullah Syukri mengungkapkan bahwa Pondok Buntet Pesantren sangat terbuka. Hal itu mengingat tidak ada pembatas di pesantren tersebut. "Setiap orang bisa datang," katanya.
 
Lebih lanjut, pria yang menamatkan studi magisternya di Jerman itu juga menjelaskan penelitian Wahid Foundation menunjukkan kebencian itu muncul dari ketidaktahuan.
 
"Bagaimana bisa benci dengan Yahudi sementara tidak pernah bertemu seorang pun yang beragama Yahudi. Bagaimana bisa benci terhadap Kristen sementara tidak pernah membaca Bibel," tegasnya.
 
Karenanya, ia menyesalkan ada penceramah agama yang menertawakan simbol-simbol agama lainnya. Padahal, mengutip ayat Al-Qur'an, ia menjelaskan bahwa Allah swt melarang umat menghina agama lain karena mereka juga akan balik mencaci agama penghina pertama tadi dengan tanpa pengetahuan.
 
Beragama, Bukan Hanya Berhubungan dengan Allah
 
NU dan pesantren sejak dulu percaya bahwa beragama bukan hanya hablun minallah, hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan semata. Tetapi juga ada dimensi lainnya, yakni hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam.
 
Dalam konteks hubungan antara sesama manusia, NU membaginya menjadi tiga bagian, yakni persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan antara satu bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan antarumat manusia (ukhuwah insaniyah).
 
Sebagai sesama beragama Islam, jelasnya, tentu jika ada yang berkekurangan ataupun sakit, harus saling membantu satu sama lain. "Kita harus bantu sesama muslim karena kita seperti bangunan yang sama," ujar anggota Hubungan Luar Negeri Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu.
 
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa NU selalu memprioritaskan ukhuwah wathaniyah. Pasalnya, bayangkan saja, katanya, jika dalam suatu negara terdapat perang bagaimana bisa membangun masjid, jika ada konflik bagaimana bisa membangun gereja, pun demikian kalau terdapat sesuatu yang salah, bagaimana bisa mendirikan sinagog.
 
"Maka Nahdlatul Ulama selalu memprioritaskan ukhuwah wathaniyah selalu berada di atas karena kita percaya itu yang paling penting," tegasnya.
 
Dalam hubungan sesama manusia, ia jadi ingat KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur pernah mengungkapkan, katanya, jika menolong orang, jangan pedulikan agamanya apa. "Tolong, ya tolong saja," kata Abdullah Syukri.
 
Pria yang juga pernah mondok di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah di bawah asuhan KH Maimoen Zubair itu bertekad akan memberikan warna pemikiran terhadap santri yang dikenal tertutup dan kurang berani mengambil langkah yang terbuka.
 
Dengan menghadirkan kedua tokoh agama Kristen dan Yahudi ke hadapan para santri, ia yakin hal itu bisa membuka mata mereka bahwa hidup ini tidak sendiri, tetapi juga bersama banyak komunitas lain yang berbeda.
 
Pewarta : Syakir NF
Editor : Kendi Setiawan