Nasional SOSOK

Sidrotun Naim, Wasekjen PBNU, Ilmuwan Bioteknologi yang Hobi Nyarkub

Kam, 19 Januari 2023 | 07:45 WIB

Sidrotun Naim, Wasekjen PBNU, Ilmuwan Bioteknologi yang Hobi Nyarkub

Sidrotun Naim, ilmuwan bioteknologi yang dikenal dengan dokter udang itu telah lama malang melintang di dunia sains. Sejak Agustus 2022, ia ditunjuk sebagai Wakil Sekjen PBNU. (Foto: Dok. Pribadi)

Jakarta, NU Online

Sidrotun Naim, salah seorang ilmuwan perempuan di bidang bioteknologi yang secara khusus diberi kepercayaan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf untuk menjabat Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU sejak Agustus 2022 lalu.


Meski baru masuk dalam kepengurusan PBNU, sejatinya Naim, sapaan akrabnya, telah lama akrab dengan lingkungan dan tradisi NU karena ia berasal dari keluarga keturunan NU.  


Ia merupakan anak ke-7 dari 11 bersaudara. Kecintaan Naim terhadap ilmu merupakan tradisi dalam keluarga selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Dahulu, leluhurnya mengabdi di keraton setidaknya sejak zaman Kesultanan Demak.


Setelah berubah menjadi Mataram, leluhurnya adalah ulama untuk keraton Kasunanan Surakarta secara turun temurun. Meskipun tidak melanjutkan tradisi sebagai ulama atau guru agama, Naim meneruskan tradisi keilmuan di keluarga dengan menjadi saintis.


Ayah Naim merupakan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Menariknya, meski tumbuh di lingkungan NU, ayah Naim justru menjadi kader Muhammadiyah ketika muda. Bahkan ayahnya menjadi ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Solo.


“Mungkin orang tidak akan mengira bahwa saya orang NU. Tapi, bukan tidak ada, bahkan NU dalam diri saya sudah mengakar kuat, hanya saja saya tidak ingin menampakkan,” kata Naim kepada NU Online, Rabu (18/1/2023). 


“Saya ini kan, IPPNU bukan, PMII juga bukan, Fatayat apalagi. Saya ini memang bukan-bukan,” sambungnya guyon


Meski begitu, ia mengaku bahwa dirinya sebagai orang NU tulen, hal itu tampak dari kegemarannya berziarah kubur dan sowan pada para kiai sepuh di berbagai wilayah. 


“Saya ini pemburu makam, sarkub (sarjana kuburan). Sowan para masyayikh kadang antre lama membaur dengan masyarakat dan saya menikmati itu semua,” ungkap Naim. 


Di bidang sains, Naim tertarik untuk mempelajari penyakit udang. Ketertarikannya itu berawal dari ajakan temannya untuk memberikan pendampingan melalui program WWF Indonesia-Aceh kepada petambak udang korban tsunami di Aceh.


Kegagalan panen udang pada tahun 2008 di Aceh membuatnya ingin melanjutkan studi program doktoral ilmu lingkungan di Universitas Arizona, Amerika Serikat. Ia menyelesaikan Ph.D Environmental Microbiology di Universitas Arizona pada 2012.


“Dokter, termasuk spesialis kesehatan jiwa sudah banyak. Dokter hewan, piaraan khususnya juga cukup banyak. Dokter ikan, udang, dan sebangsanya yang belum banyak di Indonesia,” terang Naim. 


Ketertarikan Naim terhadap udang bukan kebetulan, sejak duduk di bangku SD maupun sekolah menengah, Naim tertarik dengan sains terutama biologi.


Naim kecil pernah bermimpi pergi ke luar negeri seperti ayahnya, Abidullah. Pada 1974, hanya dua putra Indonesia yang mendapatkan beasiswa dari British Council yaitu Abidullah yang sudah almarhum dan mantan Menteri Pertahanan Juwono Soedarsono. Ayahnya menimba ilmu S2 ekonomi di Glasgow, Skotlandia.


Memperdalam sains lingkungan

Setelah menghabiskan sekolah dasar dan menengah di Solo, Naim menempuh S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia lulus dari Sekolah Ilmu Teknologi dan Hayati ITB tahun 2002. Seusai lulus, Naim bekerja di Freeport Mc Moran sebagai konsultan lingkungan sampai 2003.

 

Setelah itu, Naim mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 Jurusan Biologi Kelautan di Universitas Queensland, Australia. S2 di Australia ia tamatkan pada tahun 2005 dengan menggondol Master of Marine Studies.


Namun, meski mengenyam pendidikan luar negeri, bukan berarti usaha mendapatkan pekerjaan menjadi hal mudah. Karena keterbatasan kuota, Naim kala itu belum berkesempatan mengajar di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta yang diinginkannya. Akhirnya, SMA Plus Muthahhari Bandung menjadi tempat Naim mengabdi sebagai pendidik pada 2006-2007.

 

Pada 2007 menjadi tahun penting bagi Naim. Ia bergabung dengan lembaga internasional yang bergerak di bidang lingkungan, World Wildlife Fund for Nature (WWF) sebagai konsultan program kelautan di Aceh pasca-tsunami. Di situlah ia jatuh cinta pada udang.


Lima tahun kemudian setelah lulus dari Queensland, yaitu pada tahun 2010, Naim berhasil menyelesaikan program master sains lingkungan di Universitas Arizona. Dua tahun kemudian pada 2012, ia juga menggondol master sains di bidang mikrobiologi dan patobiologi di universitas yang sama.


Menariknya, S2 Mikrobiologi dan Patobiologi tersebut ia tamatkan berbarengan dengan gelar doktoral (Ph.D) Mikrobiologi Lingkungan di Universitas Arizona pada 2012.


Salah satu bagian disertasi doktornya membahas tentang bakteri yang berpendar di udang menggunakan pendekatan genetik dan biologi molekuler. Berkolaborasi dan dibimbing oleh Professor Bonnie L. Bassler (geneticist dan molecular biologist) dari Universitas Princeton, AS. 


Naim ke Arizona untuk S3 karena Arizona adalah OIE (Office International des Epizooties/ World Animal Health Organization) Reference Lab untuk penyakit udang di bawah pimpinan Professor Donald Lightner. Naim adalah orang Indonesia pertama yang lulus dari lab referensi ini.


Keilmuan yang dia punyai ingin dilengkapi dengan manajemen yang baik sehingga ia mengambil master jurusan Administrasi Publik di Universitas Harvard. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Harvard pada 2016.


Meskipun sudah menggondol doktor di Universitas Arizona, sejak 2021 Naim sedang menempuh S3 Kajian Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Doktor Kajian Islam ia tempuh agar ia dapat memperkuat bidang agama dan sains. Secara khusus, Naim sedang mengkaji Tarekat Syadziliyah di SPs UIN Jakarta tersebut.


 

Kegiatan Sidrotun Naim saat di laboratorium. (Foto: Dok. Pribadi)

Penghargaan internasional

Sepanjang 2009-2016, Naim banyak memperoleh penghargaan di Indonesia maupun di luar negeri. Di awal tahun 2012, Sidrotun Naim menjadi satu dari lima belas peneliti muda tingkat dunia yang menerima anugerah UNESCO-L’Oréal For Women in Science di markas UNESCO, Paris.


Di penghujung 2014, Sidrotun Naim bersama 4 alumni Fulbright lainnya mewakili Fulbright Program untuk menerima untuk menerima penghargaan Prince of Asturias Award 2014. 


Fulbright Program adalah pemenang penghargaan Prince of Asturias untuk kategori kerja sama internasional yang diberikan di Teater Campoamor, Oviedo. Kepada lima alumni yang mewakili Fulbright Program, Raja Felipe memberikan pin Asturias secara terpisah saat jamuan di Hotel Reconquista, diberikan secara resmi di depan bendera negara masing-masing, termasuk Sidrotun Naim di depan Sang Saka Merah Putih.


Hobi nyarkub

Kendati demikian, ia tetap menyebut bahwa beberapa atribusi di atas hanyalah tempelan luar. Sebab, tempelan yang sebenarnya adalah santri NU yang hobi mengeksplor makam-makam para ulama (nyarkub). 


“Yang asli hanya sarkub ini, yang lain tempelan luar. Makanya, dari empat perempuan di tanfidziyah PBNU, saya yang paling gak kental jejak NU-nya,” ucapnya berkelakar. 


Meski percakapan dilakukan tanpa tatap muka, Naim berusaha memberi kesan ramah. Sesekali, dia sisipkan kalimat bernada canda untuk menjawab pertanyaan yang diajukan NU Online. Kata “hehehe maupun hahaha” tak pernah luput dia tulis.


Cara Naim menjelaskan pendidikan dan bidang yang dia geluti pun mudah dicerna. Seolah-olah jauh dari kesan sulit tetapi terdengar mudah di tangan perempuan yang mengklaim diri sebagai dokter udang pertama di Indonesia.


Keahliannya di bidang aquakultur itu membuatnya dipercaya menjadi dokter udang di sebuah perusahaan rintisan (start-up) bernama Cekolam.id. Start-up tersebut bergerak di bidang kesehatan udang dan pengembangan alat diagnostik (diagnostic kit) serta bioteknologi udang. Pengembangan teknologi ini pertama kali dan 100 persen buatan Indonesia.


Saat ini, Naim adalah staf pengajar sekaligus menjabat sebagai Direktur Akademik (Wakil Rektor I) di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI International Business School) Jakarta Selatan. Dirinya menjadi bagian penting dalam pengembangan kurikulum inovasi bisnis dan manajemen bisnis pangan (Food Business Management) di IPMI.


Pewarta: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad