Nasional

Soroti Rekonstruksi Dandy Cs, Pakar Hukum Pidana: Harusnya AGH juga Dihadirkan

Sen, 13 Maret 2023 | 19:30 WIB

Soroti Rekonstruksi Dandy Cs, Pakar Hukum Pidana: Harusnya AGH juga Dihadirkan

Rekonstruksi penganiayaan David digelar di Kompleks Green Permata Residence, Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, pada Jumat (10/3/2023). (Foto: Dok. Polda Metro Jaya)

Jakarta, NU Online

Pakar Hukum Pidana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Fira Mubayyinah turut menyoroti proses rekonstruksi kasus penganiayaan David Ozora yang dilakukan oleh Mario Dandy Santrio Cs. Rekonstruksi digelar Polda Metro Jaya pada Jumat (10/3/2023).


Fira menyoroti ketidakhadiran kekasih Dandy berinisial AGH dalam proses rekonstruksi yang digadang-gadang terbentur UU Sistem Peradilan Anak. Padahal, kata dia, rekonstruksi anak berhadapan hukum sebenarnya pernah dilakukan dalam kasus IH (17) dan AZ (15), pada 29 April 2015, silam, di Kepulauan Meranti.


“Artinya, yurisprudensi rekonstruksi anak berhadapan dengan hukum sudah ada. Sehingga sebenarnya kemarin AGH bisa dihadirkan,” kata Fira, kepada NU Online, Senin (13/3/2023).


Melansir Detik.com, Polres Kepulauan Meranti, Riau, menggelar rekonstruksi pemerkosaan mayat janda. Dalam rekonstruksi diketahui, korban digilir dua remaja.


Dalam rekonstruksi ini pihak kepolisian menghadirkan dua tersangka  IH dan AZ. Dua remaja ini diduga melakukan pembunuhan terhadap janda kembang berinisial R (25).


Dalam rekonstruksi, ada 23 adegan. Tersangka utamanya adalah IH karena selama ini menjalin asmara dengan janda tersebut. Sedangkan AZ berperan membantu pembunuhan.


Kemiripannya dalam kasus Dandy Cs, terang Fira, adalah sama-sama melibatkan anak-anak. Bila dilihat dari tindak pidana Dandy Cs terhadap korban, ketidakhadiran AGH dalam rekonstruksi membuktikan penegak hukum masih berpegang pada paham positivistik.


“Menurut saya langkah aparat penegak hukum tidak menghadirkan AGH ini sebagai bukti penegakan hukum kita masih konsisten dengan faham positivistiknya,” ucap dia.


Namun, menurutnya, hal itu tak dapat dipungkiri sebab implementasi UU SPPA masih berjalan lamban dan terfragmentasi dengan KUHAP. Tapi, bila merujuk pada urgensi pelaksanaan rekonstruksi dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP), seharusnya penegak hukum dapat mempertimbangkan agar AGH bisa hadir.


“Ini untuk mendapatkan gambaran serta menguji kebenaran keterangan yang diberikan oleh tersangka dan juga saksi. Maka seharusnya kepolisian mempertimbangkan kepentingan rekonstruksi sebagai salah satu peranan penting dalam proses hukum. Seharusnya AGH dihadirkan dengan catatan rekonstruksi dilakukan secara khusus (bisa dalam bentuk didampingi oleh orang tua / KPAI),” jelas dia.


Kekhususan ini, lanjut dia, diberikan semata-mata karena perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum, dapat diberikan perlakuan khusus pada hukum acara, ancaman pidananya yang berbeda dengan orang dewasa, pemenuhan hak anak serta mengutamakan keadilan restoratif.


“Kita menyadari bahwa anak yang berhadapan dengan hukum ini sebenarnya karena belum mampu menerima sistem peradilan pidana yang dijalani,” tandasnya.


Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Unusia Setya Indra Arifin berpendapat bahwa proses rekonstruksi bukanlah suatu hal yang wajib. Sehingga ketidakhadiran AGH mestinya tidak harus dipermasalahkan.


“Karena tidak wajib, maka bisa saja jika karena alasan tertentu tidak memungkinkan dilakukannya reka ulang adegan itu secara benar-benar utuh. Itu tidak masalah,” kata Indra.


Hal yang lebih penting selain rekonstruksi, jelas dia, adalah inventarisasi bukti-bukti dalam proses penyidikan. Sehingga fakta hukumnya tetap utuh.


“Yang penting dari reka ulang adalah pengumpulan fakta-fakta hukumnya. Pastikan itu semua utuh sekalipun reka ulang adegan tadi tidak benar-benar sama persis seperti pada tempus maupun locus delicti-nya,” tegasnya.


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin