Nasional

Survei PPIM: 40,36 Persen Guru Setuju Ilmu dari Barat Tak Perlu Dipelajari

Sel, 16 Oktober 2018 | 22:00 WIB

Jakarta, NU Online
Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Saiful Umam mengungkapkan, islamisme menjadi salah satu hal yang terkait dengan intoleransi dan radikalisme di kalangan guru di Indonesia. 

Umam menerangkan, Islamisme merupakan suatu pandangan yang menekankan bahwa bagaimana syariat Islam harus dijadikan sebagai sumber rujukan utama dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam ranah politik. Islam dipahami sebagai ‘paling sempurna dan mencakup semuanya’ sehingga harus menjadi satu-satunya sumber rujukan bagi umat Islam.

Oleh karenanya, alumni Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen Pati ini menuturkan bahwa hal itu lah yang menyebabkan sebagian guru di Indonesia setuju bahwa ilmu dari negara-negara Barat tidak perlu dipelajari.

“Sebanyak 40,36 persen guru setuju bahwa seluruh ilmu pengetahuan sudah ada dalam Al-Qur’an sehingga Muslim tidak perlu mempelajari ilmu pengetahuan yang bersumber dari Barat,” kata Umam dalam acara Peluncuran Survei PPIM 2018: Survei Nasional Tentang Sikap Keberagamaan Guru Sekolah/Madrasah di Indonesia di Jakarta, Selasa (16/10). 

Menurut Umam, cara pandang keagamaan seperti ini cenderung bersifat tertutup dan ekslusif dalam merespons perkembangan ilmu pengetahuan yang dianggap bukan berasal dari Islam.

Tidak hanya itu, sebanyak 82,77 persen guru setuju kalau Islam adalah satu-satunya solusi atas segala permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat saat ini. 

Data ini didasarkan pada hasil survei yang dilaksanakan PPIM pada 6 Agustus hingga 6 September 2018 lalu. Total sampel guru yang disurvei mencapai 2.237 orang dari 34 provinsi di Indonesia. Sampel guru yang berjenis kelamin perempuan adalah 1.335 orang (59,79 persen), sementara guru laki-laki 898 orang (40,21 persen).

Survei ini menggunakan dua alat ukur untuk mengukur tingkat intoleransi dan radikalisme. Pertama, Implicit Association Test (IAT). Alat ukur ini digunakan untuk melihat potensi intoleransi dan radikalisme guru secara implisit. Kedua, kuesioner. Ini untuk menilai intoleransi dan radikalisme serta faktor-faktor yang mempengaruhinya secara eksplisit. (Muchlishon)