Nasional

Tak Perlu Gengsi, Ketua PBNU Ingatkan Masyarakat soal Jamuan Tahlil Sederhana

Rab, 21 Desember 2022 | 19:00 WIB

Tak Perlu Gengsi, Ketua PBNU Ingatkan Masyarakat soal Jamuan Tahlil Sederhana

Ketua PBNU, KH Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Keagamaan KH Ahmad Fahrur Rozi menyarankan masyarakat Muslim di Indonesia agar tidak perlu termakan gengsi untuk menggelar acara tahlilan dengan jamuan yang mewah.

 
“Itu perlu diluruskan (kemewahan jamuan dalam tahlilan) agar mereka dapat melakukan (tahlilan) secara sederhana dan semampunya. Tradisi khitanan dan resepsi pernikahan juga kadang berlebihan. Itu perlu edukasi agar lebih sederhana,” tutur Gus Fahrur kepada NU Online, pada Rabu (21/12/2022). 


Gus Fahrur menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada ketentuan syariat dalam Islam yang mewajibkan tuan rumah untuk memberi makanan kepada tamu yang datang ke acara tahlilan. Di beberapa tempat bahkan ada tradisi, para warga yang bertakziah membawa bahan makanan untuk dimakan bersama di rumah keluarga duka. 


“Sebenarnya tidak ada kewajiban harus memberi makanan, itu tradisi gotong-royong masyarakat yang takziah biasanya membawa bahan makanan untuk dimakan bersama. Jika memang keluarga kurang mampu, tahlilan juga tidak (perlu) memberi makanan, cukup air dan kue saja seadanya,” tegas Gus Fahrur. 


Namun apabila keluarga duka berasal dari kalangan menengah ke atas, biasanya akan ada tradisi menyembelih sapi yang diniatkan sebagai sedekah dan ditujukan untuk si mayit. Tradisi ini tidak menjadi masalah. 


“Jika keluarga mampu, kadang menyembelih sapi berniat sedekah untuk mayit dan mendoakannya. Itu tidak ada masalah, sebagai tanda bakti dan terima kasih anak kepada orang tuanya,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Annur 1 Bululawang, Malang, Jawa Timur itu. 


Dalam artikel NU Online yang berjudul Melaksanakan Tahlilan Sampai Berutang, Apa Hukumnya? dijelaskan bahwa bersedekah dengan mengadakan jamuan makan pada saat tahlilan hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, tak boleh memaksakan diri. 


Sebab pada dasarnya, syariat Islam memandang keluarga yang ditinggalkan sebagai pihak lemah karena sedang berduka, sehingga disunahkan bagi kerabat dan tetangga untuk menghidangkan makanan bagi keluarga mayit. Hal ini dijelaskan Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm juz I halaman 387.


Pada artikel tersebut dijelaskan bahwa dalam pandangan syariat, niat baik melakukan kesunahan bisa menjadi makruh, bahkan bisa menjadi haram, apabila dilaksanakan tidak sesuai dengan konteks.


Demikian pula halnya dengan jamuan makan pada saat tahlilan yang bisa jadi akan menjadi makruh hukumnya apabila dirasa memberatkan bagi ahli waris mayit hingga mereka sampai berutang hanya untuk mengadakan jamuan makan. 


Bahkan bisa juga menjadi haram apabila jamuan makan yang diberikan berasal dari harta yang haram, membuat utang-utang mayit tidak terbayarkan, atau menyita harta waris yang seharusnya diperuntukkan bagi anak yatim.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad