Nasional

Tasawuf Transformatif di Majelis Manaqib Kiai Muzaki dan Maiyah Cak Nun

Rab, 14 Agustus 2019 | 01:00 WIB

Tasawuf Transformatif di Majelis Manaqib Kiai Muzaki dan Maiyah Cak Nun

Jamaah Majelis Dzikir Manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani Kiai Muzakki Syah (foto: facebook)

Dalam penelitian Diktis Pendis Kemenag RI tahun 2018 berjudul Geneologi Tasawuf Transformatif: Studi Multikasus di Majlis Maiyah Ainun Nadjib dan Majelis Dzikir Manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani Kiai Muzakki Syah ditemukan bahwa pelaksanaan kegiatan majelis tasawuf transformatif sangat berpengaruh terhadap para jamaah. Dalam psikologi agama mereka para jamaah yang mengalami berbagai persentuhan dan perubahan itu karena mengikuti majelis tasawuf transformatif disebut dengan turn born (lahir kembali) untuk kedua kalinya.
 
Penelitian yang dilakukan oleh Sayyidah Syaikhotin dan Hasyim Asy’ari diungkapkan bahwa para jamaah mengalami transformasi kehidupan dari kehidupan yang sebelumnya menjadikan Allah sebagai sekunder dalam kehidupan, selanjutnya menjadikan Allah sebagai primer dilandasi oleh cinta sejati kepada Allah dan Rasul-Nya. Perubahan yang transformatif ini menjadi landasan kuat untuk mencapai derajat tinggi sebagai manusia.

Untuk pelaksanaan kegiatan majelis tasawuf transformatif, biasanya dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pra acara, acara inti dan acara penutup. Adapun pelaksanaan yang dilakukan di majelis maiyah adalah, pertama, praacara. Di dalam praacara ini biasanya ada penampilan hasil kreasi seni (musik dan sebagainya), membaca tawassul, tahlil dan dzikir, mengaji sebagian surat-surat di dalam Al-Qur’an, dan ditutup dengan doa. Kedua, acara inti. Acara ini biasanya dilakukan dengan pengantar pembahasan Si Nau bersama yang dipimpin oleh pengurus maiyah, kemudian Cak Nun dan tamunya datang ke pentas dan memulai acara intinya. Cak Nun terkadang memulai dahulu Si Nau bersama, tetapi terkadang undangan yang hadir diberi kesempatan terlebih dahulu.
 
Pada Si Nau inilah, dengan apik Cak Nun menjelaskan ‘Tuhan' dengan bahasa yang mudah diterapkan dalam kehidupan sosial, baik antara agama, politik, dan lain sebagainya. Menariknya, bahwa dalam ruang-ruang itu, dengan gaya yang justru memperlihatkan tidak adanya pretensi sebagai sufi, ustadz, atau apa saja yang mengidentitasi tokoh keagamaan. Cak Nun mengemukakan nilai-nilai yang berkandungan kesufian, tauhid, atau kesungguhan bertuhan dalam bahasa yang sederhana yang harapannya bisa ditangkap orang kebanyakan. Cak Nun 'melepas' semua embel-embel dalam dirinya tatkala 'melihat' manusia. Setelah si nau bersama selesai, maka biasanya diteruskan dengan pembacaan shalawat dan istighfar. Acara ketiga penutup, dilakukan dengan pembacaan doa. 
 
Adapun Majelis Dzikir Manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani oleh KH Muzakki Syah memiliki ritmis sendiri dalam menyisipkan nilai Pancasila dalam tasawuf transformatifnya. Supaya pelaksanaan majlis tasawuf transformatif berjalan dengan baik dan berhasil, para jamaah Manaqib harus berusaha dengan susah payah, istiqamah, ikhlas, dan yakin. Dalam menempuh jalan (tarekat) untuk memperoleh kenyataan Tuhan (tajalli), para jamaah berusaha melalui riyadlah (latihan-latihan) dan mujahadah dengan menempuh jalan, antara lain melalui suatu dasar pendidikan tiga tingkat, yakni takhalli, tahalli, dan tajalli.
 
Ada pula yang menempuh jalan suluk dengan sistem yang dinamakan murotabatu al-thariqah yang terdiri dari empat tingkat, yaitu taubat, istiqamah (taat lahir dan batin), tahdzib (yang terdiri dari beberapa riyadlah, latihan), dan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan berkhalwat, dzikir terus menerus).
 
Inti pengamalkan ajaran tasawuf di Majelis Dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah nilai cinta. Perasaan dan sikap cinta kepada Allah merupakan pusat cinta seorang hamba. Apabila seorang hamba ingin dikabulkan keinginan, permintaan atau doanya maka harus cinta kepada Allah dengan segala upaya. Karenanya, pada beberapa kegiatannya, KH Muzakki selalu menekankan kepada setiap jamaah, untuk dapat memahami bahwa inti dari ajaran yang disampaikan berujung pada hakikat cinta. Cinta yang sebenarnya adalah cinta kepada Allah. Namun, seseorang tidak dikatakan benar-benar mencintai Allah sebelum ia bisa mencintai ciptaan-Nya.
 
Pada akhirnya, ditemukan kesimpulan pada penelitian ini, yaitu tasawuf transformatif adalah ajaran yang dikembangkan oleh majelis tasawuf transformatif, yang mengajak kepada aspek tauhid dan tasawuf. Hanya saja, pada majelis tasawuf transformatif diajari juga berbagai disiplin ilmu, baik yang monodisipliner, multidisipliner, maupun interdisipliner. Sehingga, pemaknaan dzikir dan wirid tidak terbatas pada bentuk bacaan saja, tetapi juga perilaku dan sifat sehari-hari adalah juga sangat bisa disebut sebagai dzikir dan wirid.
 
Maka, ketika siapa pun mampu mencapai titik yang dimaksud oleh majelis tasawuf transformatif, sesungguhnya ia juga akan mampu memaknai nilai Pancasila dan implementasinya. Di mana tujuannya memiliki kesamaan, membentuk pribadi-pribadi tidak saja memiliki keshalehan dan ketenangan untuk dirinya sendiri, tetapi juga membangun keshalehan sosial. Sebab, inti dari tasawuf yang diajarkan adalah bagaimana menemukan 'Tuhan' dalam diri sendiri dan makhluk-Nya. Dengan begitu, ketika ia benar-benar ingin mencintai Tuhan dengan sejati, ia juga perlu 'menyampaikannya' kepada makhluk-Nya sebagai bukti cinta itu. (Sufyan/Kendi Setiawan)