Nasional

Temuan dan Rekomendasi Komnas HAM soal Konflik di Pulau Rempang

Sab, 23 September 2023 | 11:01 WIB

Temuan dan Rekomendasi Komnas HAM soal Konflik di Pulau Rempang

Bentrok warga dan aparat gabungan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023) lalu. (Foto: tangkapan layar video)

Jakarta, NU Online

Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan temuan hasil penyelidikan terkait konflik di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri).


Pemantauan dilakukan pada 15-17 September 2023 dengan meminta penjelasan BP Batam, keterangan dari Kapolresta Balerang, pihak SMPN 22 dan SDN 24 Galang, hingga masyarakat di Desa Sembulang, Desa Dapur 6 dan Pantai Melayu. Dalam temuan tersebut Komnas HAM menemukan ada indikasi pelanggaran HAM yang terjadi pada konflik Rempang.

 

Dugaan pelanggaran HAM

Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing mengungkap enam dugaan pelanggaran HAM terkait peristiwa 7 September 2023 itu.


Pertama, hak atas rasa aman dan bebas dari intimidasi. Ada penggunaan kekuatan berlebihan. Ada 1.000 anggota aparat. Kemudian juga penggunaan gas air mata yang tidak terukur sehingga menyebabkan korban, itu harus diakui itu ada. Jadi ada pelanggaran hak atas rasa aman, bebas dari intimidasi.


Hak tersebut, kata Uli, dijamin oleh Undang-undang HAM dan Perkap Kepolisian Nomor 1 tahun 2009. Uli menyebut aparat juga dilarang melakukan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah kejahatan.


Kedua, hak untuk memperoleh keadilan. Ada pembatasan akses terhadap bantuan hukum kepada 8 tersangka yang sudah dibebaskan ketika proses penyelidikan dan penyidikan. Dan itu kami mendapatkan laporan juga dari masyarakat dan kuasa hukumnya.


Hak ketiga yang diduga dilanggar adalah hak atas tempat tinggal yang layak. Hal ini berkaitan dengan rencana relokasi. Uli menjelaskan rencana relokasi itu berdampak secara langsung terhadap tempat tinggal, terutama terhadap Perkampungan Melayu Kuno di Pulau Rempang.


"Upaya relokasi ke lokasi baru pada dasarnya tidak hanya mencederai hak atas rasa aman, namun juga mencabut hak atas tempat tinggal yang layak," ucap Uli lewat keterangannya kepada NU Online, Sabtu (23/9/2023).


Keempat, hak perlindungan anak. Ada siswa SDN 24 Galang dan SMP yang terdampak gas air mata pada peristiwa 7 September. Ini juga secara visual sudah ada video-videonya. Dan kami sudah mewawancarai di SD 24 Galang dan SMPN 22 Galang.


Kelima, hak atas kesehatan. Upaya pengosongan puskemas dan pembebas tugasan tenaga kesehatan di Pulau Rempang. 


"Kami sudah menemui saksi-saksinya dan memang terkonfirmasi ada upaya pengosongan puskesmas di Pulau Rempang dan pemindah tugasan tenaga kesehatan di Pulau Rempang, sehingga fasilitas kesehatan tidak bisa berfungsi maksimal. Ke depannya mungkin juga fasilitas kesehatan akan dipindahkan, tapi ini butuh pendalaman bagi kami," terang Uli.


Keenam, terkait dengan bisnis dan HAM. PSN ini akan berdampak sangat buruk bagi masyarakat di Pulau Rempang terutama masyarakat adat Melayu. Untuk itu diperlukan kewajiban dan tangung jawab masing-masing pihak sebagai upaya perlindungan pemenuhan HAM.

 

"Mungkin itu yang bisa kami identifkasikan ya, dugaan pelanggaran HAM," jelas Uli.

 

Rekomendasi Komnas HAM

Dari hasil temuan tersebut, Komnas HAM  memberikan delapan rekomendasi terkait konflik di Pulau Rempang. 


Pertama, meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian agar meninjau kembali Pengembangan Kawasan Pulau Rempang Eco City sebagai PSN berdasarkan Permenko Perekonomian Nomor 7 tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Permenko Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. 


Kedua, merekomendasikan Menteri ATR BPN untuk tidak menerbitkan HPL di lokasi Pulau Rempang mengingat lokasi belum clear and clean.


Ketiga, perihal penggusuran harus sesuai dengan prinsip-prinsip HAM yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, KIHESB).


Dalam UU tersebut, disebutkan kebijakan penggusuran paksa hanya dilakukan sebagai upaya terakhir setelah mempertimbangkan upaya-upaya lain. 


Kemudian, apabila terpaksa melakukan penggusuran paksa, maka pemerintah dan/atau korporasi wajib melakukan asesmen dampak penggusuran paksa dan kebijakan pemulihan kepada warga terdampak.


Selanjutnya, pemerintah dan/atau korporasi wajib memberikan kompensasi dan pemulihan yang layak kepada warga terdampak sesuai prinsip-prinsip HAM yakni proses penggusuran harus sesuai standar Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 


Ada tiga instrumen yang harus diperhatikan ketika melakukan penggusuran mulai dari musyawarah mufakat, pemberitahuan yang layak, dan relokasi sebelum penggusuran dilakukan.


Dalam proses penggusuran juga ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Mulai dari perlindungan prosedural, tapa intimidasi dan kekerasan, serta mengerahkan aparat secara proporsional.


Keempat, pemerintah harus melakukan dialog dan sosialisasi yang memadai dengan cara pendekatan kultural dan humanis atas rencana pengembangan dan relokasi sebagai dampak pembangunan PSN.


Kelima, terkait dengan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi, Negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak, baik melalui tindakan maupun kebijakan yang diambil, baik tingkat lokal maupun nasional. 


Kebijakan Negara tidak boleh diskriminatif dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, eksklusif dan tidak proporsional. Negara tidak boleh melakukan relokasi paksa (forced evictions) yang merupakan bentuk pelanggaran HAM.


Keenam, Tidak menggunakan cara kekerasan dengan pelibatan aparat berlebih (excessive use of power) dalam proses relokasi dan proses pembangunan Kawasan Pulau Rempang Eco 
City.


Ketujuh, Kepolisian agar mempertimbangkan menggunakan keadilan restoratif dalam penanganan proses pidana kasus Pulau Rempang.


Kedelapan, Kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, disabilitas, masyarakat adat harus dilindungi dari kekerasan dan lainnya di Pulau Rempang.