Nasional

Teroris Tertangkap, Pengamat Intelijen: Sel JI Tak Pernah Mati

Jum, 19 November 2021 | 03:00 WIB

Teroris Tertangkap, Pengamat Intelijen: Sel JI Tak Pernah Mati

Pengamat Intelijen dan Keamanan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Robi Sugara. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Pengamat Intelijen dan Keamanan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Robi Sugara, menyebut bahwa sel Jamaah Islamiyah (JI) atau kelompok teroris Asia Tenggara tidak akan pernah mati.


Menurut dia, sejak dianggap sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2007 lalu, eksistensi Jamaah Islamiyah (JI) memang sudah mulai lenyap. Namun, nyatanya kelompok tersebut masih aktif hingga sekarang di bawah pimpinan yang baru.


Terbaru, Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Negara Republik Indonesia (Densus 88 AT Polri) menangkap tiga tersangka teroris di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (16/11/2021). Ketiga orang tersebut adalah Farid Ahmad Okbar (FAO), Ahmad Zain An-Najah (AZ), dan Anung Al-Hamad (AA).
 


“Ketiga terduga teroris termasuk AZ adalah bagian dari jaringan Jamaah Islamiyah yang sejak 2020 lalu banyak ditangkap di Lampung dan Banten,” kata Robi kepada NU Online, Kamis (18/11/2021) malam.


AZ ditangkap di jalan Merbabu Raya, Pondok Melati, Kota Bekasi sekitar pukul 04.39 WIB. Penangkapan tersebut diduga karena Ahmad terlibat jaringan terorisme di dalam organisasi JI. Setelah ditangkap, anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut langsung ditetapkan menjadi tersangka kasus terorisme.


Berdasarkan keterangan Densus 88, AZ merupakan anggota dari Dewan Syuro JI atau pihak-pihak yang dituakan di organisasi. Kemudian, ia juga merupakan Ketua Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat Badan Mal Abdurrahman Bin Auf (LAZ BM ABA) atau Yayasan amal yang didirikan untuk pendanaan JI.


Untuk itu, Robi merekomendasikan MUI ke depan harus lebih selektif dalam memilih keanggotaaannya. Hal itu dapat diupayakan lewat diskusi-diskusi dengan ormas-ormas Islam yang lebih dominan di lembaganya, seperti NU dan Muhammadiyah.


“Untuk MUI kenapa bisa dimasukkan orang seperti AZ ini. Harusnya MUI bertanya ke kelompok Islam yang cukup dominan di lembaganya, yakni NU dan Muhammadiyah. Jadi, AZ itu masuk MUI atas rekomendasi ormas Islam mana,” ujarnya.


JI Pasca Bom Bali
Lebih lanjut, ia menerangkan, keberadaan JI pasca bom Bali 12 Oktober 2002 silam membuatnya terbagi dalam beberapa kelompok. Pertama, pihak-pihak yang setuju dengan aksi Bom Bali dan aksi teror lainnya. Mereka yang sampai ini mengaku sebagai JI.


“Kedua, tidak setuju dan bergabung dengan upaya pemerintah membongkar jaringan mereka dan di antara mereka ada yang menyatakan keluar dari JI, ada juga yang mengatakan masih bergabung di JI,” terang Direktur Indonesia Muslim Crisis Center itu.


Ketiga, lanjut dia, kelompok yang tidak setuju dengan aksi Bom Bali tapi juga tidak ikut membantu aparat pemerintah. Peranannya masih tetap di JI dan berusaha tetap membangkitkan JI.


“Dan sebagian mereka juga ada yang membuat kelompok organisasi baru. Nah, AZ dan teman-temannya ini adalah kelompok ketiga dari JI tersebut,” bebernya.


Dijelaskan, kelompok ketiga JI ini terdiri dari orang berpendidikan tinggi dan punya kemampuan agama yang lumayan. Kelompok ini memilih strategi dan taktiknya memanfaatkan demokrasi atau menunggangi demokrasi untuk tujuan besar mereka, yakni berdirinya Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah. Strategi ini mirip dengan kelompok Ikhwanul Muslimin atau Hizbut Tahrir.


“Maka tidak heran bila mereka mendirikan tempat pendidikan dengan perizinan dari pemerintah, lembaga filantropi, mendirikan partai politik, membolehkan menjadi PNS, dan juga masuk ke MUI,” jelas Dosen Ilmu Sosial dan Politik UIN Jakarta itu.


Mengenai pendirian lembaga pendidikan, lanjut dia, tidak seperti kelompok teroris pada aksi bom serampangan. Sejak lama, JI jenis ini punya agenda sistematis, antara lain menargetkan satu desa satu lembaga Tahfidz Al-Qur'an atau sekolah tahfidz.


Menurut mereka kegagalan JI di masa lalu lantaran kurangnya pemahaman umat Islam di Indonesia tentang Al-Qur’an. “Jadilah dibuat sekolah tahfidz yang menurut mereka adalah cara terbaik untuk orang-orang memahami Al-Qur’an,” imbuh Robi.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori