Nasional

Tiga Persoalan Pokok dalam Upaya Pemerataan Kepemilikan Tanah

Sel, 19 Februari 2019 | 04:00 WIB

Tiga Persoalan Pokok dalam Upaya Pemerataan Kepemilikan Tanah

Ilustrasi (via shutterstock)

Jakarta, NU Online
Tanah dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya harus digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Tidak boleh ada monopoli, baik kepemilikan maupun pengelolaan atau penggarapannya.

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2017 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) menekankan pentingnya redistribusi lahan agar kepemilikan tanah menciptakan pemerataan dan keadilan.

Pada bagian “Kerangka Konseptual” hasil Bahtsul Masail Ad-Diniyyah Al-Qanuniyyah menjelaskan tiga persoalan pokok yang harus diatasi untuk melakukan reformasi agraria dalam konteks distribusi lahan agar tercipta keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Pertama adalah ketimpangan penguasaan tanah negara. Ketimpangan ini terjadi karena proses historis di masa lalu, di mana pelaku kekuatan ekonomi raksasa mendapatkan hak pengelolaan lahan dalam skala besar, sementara rakyat di kelas bawah makin kehilangan lahan mereka.

Kedua adalah timbulnya konflik-konflik agraria, yang dipicu oleh tumpang tindihnya kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, di mana lahan-lahan negara yang diberi izin untuk dikelola ternyata tidak seluruhnya merupakan lahan negara yang bebas kepemilikan.

Ketiga adalah timbulnya krisis sosial dan ekologi di pedesaan. Krisis ini diindikasikan dengan makin terdegradasinya kualitas lahan pertanian di pedesaan, makin menyempitnya lahan untuk pertanian yang dimiliki oleh para petani, dan makin berkurangnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor produksi pertanian.

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali menegaskan, salah satu hasil Munas NU 2017 adalah pentingnya redistribusi lahan agar tanah tak dikuasai oleh segelintir orang.

“Melalui Munas 2017, NU menyumbang advokasi moral teologis untuk mengambil jutaan hektar tanah yang dikuasai segelintir orang,” ujar Kiai Moqsith, Senin (18/2).

Berikut kesimpulan dan rekomendasi hasil Bahtsul Masail Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2017 soal redistribusi lahan:

1. Tanah harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sebagai alat produksi untuk kesejahteran rakyat secara adil dan merata. Dengan demikian, tanah tidak boleh dimonopoli kepemilikan dan penggarapannya, yang dapat mengakibatkan ketimpangan.

2. Perlu adanya payung hukum yang kuat dan komprehensif untuk menjamin kepastian hukum bagi kebijakan distribusi lahan melalui reformasi agraria secara fundamental dan menyeluruh. Pengaturan tentang distribusi lahan diintegrasikan ke dalam RUU Pertanahan.

3. Konglomerasi penguasaan lahan konsesi yang tidak proporsional harus diredistribusi melalui mekanisme hukum yang sah. Pemerintah berkewajiban menyiapkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lahan hasil redistribusi tersebut.

4. Kebijakan reformasi agraria dan distribusi lahan untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan, tidak bergantung pada kebijakan politik rezim kekuasaan yang berganti-ganti.

5. Proses dan mekanisme pelaksanaan reformasi agraria dan distribusi lahan harus transparan dan terbuka kepada publik, dapat dikontrol dan diawasi secara ketat oleh negara dan masyarakat.

NU menyoroti problem redistribusi lahan dengan menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Kerangka konseptual, Landasan Yuridis Konstitusional, dan Landasan Keagamaan. Baca selengkapnya: Hasil Lengkap Munas NU soal Distribusi Lahan

(Fathoni)