Nasional

Tiga Tantangan Hubungan Agama dan Negara di Indonesia

Sel, 31 Mei 2022 | 20:00 WIB

Tiga Tantangan Hubungan Agama dan Negara di Indonesia

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Agama dan negara di Indonesia memiliki hubungan spesial yang tidak dimiliki negara-negara lain di dunia, yakni simbiosis mutualisme. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain.


Namun, hubungan erat antara keduanya menghadapi tantangan yang tidak mudah. Lukman Hakim Saifuddin menyebut tiga tantangan utama yang dihadapi oleh umat beragama di Indonesia.


Pertama, orang beragama memiliki paham dan pengamalan keagamaan yang justru mengingkari nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, agama menggariskan agar memuliakan manusia.


"Kita tahu tentu setiap agama pesan utamanya ada dalah bagaimana agar harkat derajat martabat kemanusiaan itu senantiasa terlindungi," katanya saat menyampaikan pidato ilmiah pada penganugerahan gelar doktor kehormatan bidang pengkajian Islam peminatan Moderasi Beragama dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (31/5/2022).


"Tapi fenomena yang kita rasakan, orang beragama justru mengingkari nilai kemanusiaan," lanjut Menteri Agama 2014-2019 itu.


Imbasnya, ia melihat sebagian orang menjalankan praktik beragamanya dilakukan secara eksklusif, padahal pesan utama agama adalah inklusif. Beragama menjadi segregatif, padahal pesan utama agama adalah integratif.

 

Beragama membangun konfrontasi menjadi konfrontatif, padahal agama tegas mengajak kita semua untuk kooperatif. Beragama menjadi destruktif, merusak, padahal pesan utama agama adalah konstruktif, membangun kemaslahatan bersama.


"Ini tantangan pertama yang belakangan ini kita rasakan," kata putra bungsu KH Saifuddin Zuhri itu.


Tantangan kedua, menurutnya, adalah muncul fenomena tafsir-tafsir keagamaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, secara metodologi yang mestinya dijalani dan ditempuhnya.

 

"Terjadi pemutarbalikan makna-makna yang hakikatnya adalah nilai-nilai keagamaan itu sendiri," ujarnya.


Tafsir-tafsir keagamaan yang tidak berdasar secara ilmiah ini dipaksakan untuk diberlakukan kepada semua kalangan dan paksaan itu pun juga diiringi dengan tindak kekerasan. "Inilah yang juga kita jumpai di tengah-tengah masyarakat kita," katanya.


Ia mencontohkan makna jihad yang hakikatnya sangat mulia, bersungguh-sungguh dalam rangka untuk membangun kemaslahatan bersama, justru dimaknai sebaliknya. "Bahkan mengorbankan diri sendiri, jiwa raga, dan mengorbankan nyawa orang lain," katanya.


Ia juga mengambil contoh hijrah. Istilah itu memiliki makna yang begitu positif, perpindahan dari hal-hal yang buruk menjadi yang baik, tetapi dimaknai sebagai sesuatu perilaku tidak hanya sikap tapi juga tindakan yang eksklusif, tidak mau berinteraksi dengan yang berbeda keimanan, bahkan yang berbeda mazhab.


"Itu lalu kemudian menutup diri tidak mau berinteraksi, tidak mau berkumpul, justru dalam rangka dimaknai sebagai hijrah," ujar pria kelahiran Jakarta, 25 November 1962 itu.


Tantangan ketiga adalah fenomena orang beragama justru merusak ikatan kebangsaan. Beberapa tahun terakhir ini, orang beragama, orang mengamalkan agama justru merusak, mengoyak ikatan-ikatan kebangsaan, sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.


"Itu mengalami erosi justru karena paham-paham yang mengatasnamakan agama lalu men-thoghut-thogutkan Pancasila misalnya," katanya.


Thogut, jelasnya, adalah sebuah istilah yang bisa dimaknai sebagai sesuatu berhala yang mengandung anasir-anasir jahat yang karenanya dia harus dimusnahkan.


Bagi kelompok mereka, Pancasila diindentikkan sebagai berhala yang harus dimusnahkan karena bukan sesuatu yang datang langsung dari Tuhan. Pun menghormat kepada sang saka Merah Putih, adalah perbuatan menyekutukan Tuhan. Juga menyanyikan lagu Indonesia Raya adalah sesuatu yang haram.


"Dan paham-paham yang lain yang dimana paham keagamaan itu dan lalu kemudian mengejawantah pada amalan-amalan keagamaan yang secara langsung mengancam, tidak hanya mengancam tapi sudah merusak kehidupan kebangsaan kita, di kehidupan kenegaraan kita," ujarnya.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad