Nasional RISET BALITBANG KEMENAG

Tradisi Lisan Perekat Toleransi di Bali

Sab, 7 September 2019 | 10:00 WIB

Tradisi Lisan Perekat Toleransi di Bali

Made Taro (kiri) salah satu pendongeng yang menebarkan toleransi di Bali (Foto: balisaja.com)

Siapa yang tidak kenal Bali? Salah satu destinasi terbaik kelima di dunia setelah London, Paris, Roma, dan Crete (Yunani) versi situs rekomendasi wisata TripAdvisor dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Bukan cuma keindahan alamnya yang menarik. Pulau yang juga sering disebut Pulau Dewata ini salah satu daya tariknya adalah adanya tradisi lisan yang sudah turun temurun.
 
Menurut penelitian yang dilakukan Balai Litbang Agama (BLA) Badan Diklat dan Litbang Kementerian Agama, bahwa kekhasan tradisi lisan Bali menarik untuk dikaji di tengah perkembangan arus globalisasi di era modern, industri pariwisata, dan pembangunan.
 
Jamak diketahui pula, bahwa masyarakat Bali sangat akrab dengan keberagaman identitas, agama, dan ras. Menurut penelitian tahun 2018 tersebut, keberagaman masyaraklat Bali membawa implikasi pada relasi sosial masyarakat Bali. Termasuk terjalinnya ikatan sejarah selama seratus tahun yang melahirkan tradisi menyama braya (persaudaraan antarmanusia). Ungkapan menyama braya ini pun, tentu mengalami pasang surut akibat perkembangan zaman, konflik SARA dan kepentingan ekonomi serta pariwisata.
 
Penelitian tersebut mengkaji empat temuan tentang tradisi lisan yang ada di Bali. Pertama, Nilai-nilai Pendidikan Karakter Peduli Lingkungan dalam Dongeng Karya Made Taro. Dalam hal ini peneliti mengungkapkan temuannya bahwa Made Taro seorang maestro dongeng atau satua Bali adalah pemilik, pencipta, dan pengembang tradisi satua atau masatua atau dongeng di Bali.
 
Made Taro mulai merintis tradisi dongeng ini sejak 1973. Hingga penelitian dilakukan, Made Taro telah menulis 41 buku dongeng yang berisi lebih dari 200 cerita. Ia juga telah menciptakan berbagai jenis permainan sebagai pendamping dongeng.
 
Dongeng-dongeng yang dianggap penting berkaitan dengan pendidikan karakter peduli lingkungan hasil karya Made Taro berjudul Ular Bukit Selan, Para Pewaris Pohon Jati, dan Raja Penggemar Ancruk. Ketiga dongeng tersebut mengandung nilai agar manusia tidak berbuat semena-mena terhadap lingkungan, termasuk terhadap pepohonan dan hewan.
 
Kedua, tentang Nilai-nilai Pendidikan Seni Rodat di Kampung Kepaon Denpasar Selatan. Tradisi Burdah Burak di Desa Pegayaman Sukasada Kabupaten Buleleng merupakan tradisi Islam yang telah mengalami akulturasi dengan agama Hindu terutama pada jenis lagu dan pakaian yang digunakan para pemain.
 
Selain itu relasi masyarakat Muslim Pegayaman dan masyarakat Hindu di desa sekitarnya telah menciptakan harmoni antarumat beragama, di antaranya melalui kegiatan saling berpartisipasi dalam tradisi perayaan Burak Burdah. Tradisi Subak yang menjadi ciri khas masyarakat Bali dilakukan pula oleh umat Islam dengan iringan Shalawat Burdah.
 
Tradisi Kesenian Burak Burdah di Desa Pegayaman diperkirakan ada sejak tahun 1886 M. Kesenian Burak Burdah dibawa oleh seorang syaikh dari Turki yang bernama Syeh Robbani. Tradisi ini dilaksanakan setiap tanggal 8 Rabiul Awal, 12 Rabiul Awal (Mauludan Base), 13 Rabiul Awal (Mauludan Taluh). Syair Qasidah Burdah dibaca dengan kidung Bali. 

Nilai toleransi yang diperlihatkan pada simbol pakaian, dan lagu yang dilantunkan dengan kidung Bali, nilai sosial misalnya pada saat pelaksanaan Subak pertanian dibacakan doa dengan bacaan Shalawat Burdah dan berisi nilai hiburan.
 
Ketiga, tentang Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam tradisi Burdah Burak di Pegayaman Sukasada Buleleng. Dalam hasil penelitian yang ketiga ini, peneliti banyak mengungkapkan perihal sejarah hubungan Muslim dan Hindu di Bali telah terjalin sejak ratusan tahun yang silam dengan tradisi perekat berupa konsep menyama braya (bersaudara).
 
Keberadaan masyarakat Muslim di Bali sebagian besar berasal dari hubungan antara raja dan pasukan perangnya, di mana masyarakat Muslim adalah para pasukan perang yang bertugas menjadi benteng kerajaan. Refleksi hubungan ini sekarang diwujudkan dalam tradisi kesenian Rodat.

Kesenian Rodat diakui oleh masyarakat Bali sebagai bagian dari keunikan tradisi masyarakat Bali. Kesenian Rodat yang ada di Kampung Kepaon Denpasar Selatan adalah kesenian khas masyarakat Muslim berupa gerak atau tarian seperti gerak seni bela diri yang diiringi lagu bernuansa Islam dan disertai musik klasik berupa jidur atau gamelan dan kedencong atau rebana yang dipukul secara bersahutan.
 
Keempat, tentang Harmoni Hindu-Muslim Berbasis Tradisi Lisan di Desa Budakeling Karangasem Bali. Sejarah Hindu Muslim di Desa Budakeling Bungaya Kangin Karangasem Bali berasal dari tokoh Kiai Jalil, sang penakluk sapi raksasa yang diberi isteri oleh warga adat Budakeling, sehingga dipersatukan oleh nasab. Harmoni Hindu Muslim di Desa Budakeling Kabupaten Karangasem bisa menjadi kuat dengan dilandasi tradisi lisan sejarah desa yang mempersaudarakan Hindu dan Muslim sejak dahulu. 
 
Dari sini kita bisa melihat bahwa Tradisi Lisan masyarakat Muslim di Bali ini juga berfungsi sebagai sarana komunikasi antara Muslim dan Hindu yang harmoni. Salah satu wujud akulturasi budaya dalam tradisi lisan yang dikembangkan oleh orang  Islam adalah pemberian nama pada penganut Islam seperti Made Ahmad, Nyoman Muhammad, dan lainnya.
 
Penulis: Rifatuz Zuhro
Editor: Kendi Setiawan