Nasional

Viral Kasus Pemerkosaan Adik Guru Pesantren, LBH Rakyat Banten Ungkap Kejanggalan Persidangan

Sel, 27 Juni 2023 | 07:15 WIB

Viral Kasus Pemerkosaan Adik Guru Pesantren, LBH Rakyat Banten Ungkap Kejanggalan Persidangan

Gedung Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten. (Foto: pn-pandeglang.go.id)

Pandeglang, NU Online
Viral di Twitter pengakuan Iman Zanatul Haeri (@zanatul_91), seorang guru di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan asuhan KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU 2010-2021 yang menceritakan kronologi pemerkosaan terhadap adiknya yang berinisial IAK oleh terdakwa ALW, seorang mahasiswa Untirta.


Aktivis sekaligus kuasa hukum korban dari LBH Rakyat Banten, Muhammad Syarifain dan Rizki Arifianto memberikan pendampingan dan bantuan hukum dalam kasus ini yang menurut mereka terjadi kejanggalan dalam proses persidangan. Kasus juga berlanjut pada dugaan pelanggaran UU ITE karena terduga pelaku ALW menyebarkan video pemerkosaan untuk melancarkan ancaman dan intimidasi kepada keluarga korban berdasarkan keterangan Iman Zanatul Haeri, kakak korban.


“Setelah korban melapor, kami lakukan pendampingan. Kesimpulan kami adalah dugaan pemerkosaan. Namun dalam penyidikan lanjutan, setelah pengumpulan data, penyidik meneruskan perkara ini pada UU ITE,” ungkap Rizki Arifianto kepada NU Online, Selasa (27/6/2023).


Proses persidangan janggal
Kasus dugaan pemerkosaan dan penyebaran video asusila oleh ALW ini ditangani oleh Cyber Crime Polda Banten. Meski demikian, kuasa hukum menyayangkan kurangnya komunikasi dan tidak informatifnya pengadilan dan kejaksaan negeri Pandeglang terhadap pihak korban.


“Tidak ada informasi perkembangan perkara bahwa persidangan sudah dimulai sejak tanggal 16 Mei 2023. Menurut kami ini sangat janggal,” ungkap Rizki.


Seperti keterangan yang diungkapkan kaka korban Iman Zanatul Haeri, pengacara korban baru mendapatkan informasi mengenai persidangan pada sidang kedua. Jadi kuasa hukum tidak melihat dan memiliki dakwaan. 


“Kita tidak tahu dakwaannya apa. Sebab kita tidak diberitahu ada persidangan. Kami meminta dakwaan kepada Jaksa penuntut, malah menghindar. Belakangan kami baru tahu ternyata mereka tidak mengharapkan keberadaan pengacara untuk mendampingi korban sebagaimana pernyataan saudara korban di twitter,” ungkap Rizki.


Menurut Rizki, perilaku jaksa patut disayangkan. Hak-hak Korban harus didampingi kuasa hukum. Padahal dalam pasal 5 UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memperoleh perlindungan dan pendampingan hukum. Termasuk juga dalam penjelasan UU No. 18 Tahun 2023 tentang Advokat pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 68 UU No. 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual.


"Menurut kami kejaksaan telah melakukan framing keliru jika menyatakan kepada korban agar tidak perlu didampingi pengacara," tegas Rizki.


Senada, Muhammad Syarifain menegaskan bahwa proses persidangan ini harus menemukan kebenaran materiil. Pengadilan Negeri Pandeglang harus berorientasi pada pemulihan hak korban dan mengedepankan perlindungan korban kekerasan seksual. 


"Ini malah sebaliknya. Proses persidangan ini gelap dan tidak transparan. Menurut kami hakim harusnya lebih aktif menilai bukti-bukti, in criminalibus probationes bedent esse luce clariores, dalam perkara pidana bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Saat pemeriksaan saksi korban, video yang menjadi alat bukti utama tidak bisa ditayangkan dengan alasan laptop tidak support. Bayangkan, bagaimana majelis hakim bisa menilai bukti-bukti persidangan?" beber Syarifain.


Keanehan-keanehan dalam proses hukum sebenarnya sudah dirasakan sejak awal. Misal, saat kuasa hukum meminta agar nama korban tidak ditampilkan dalam website SIPP, yang terjadi justru sebaliknya. 


"Sidang kedua, rencananya tanggal 30 Mei 2023, namun diundur menjadi 6 Juni 2023. Setelah melihat nama korban muncul dalam aplikasi, kami juga bersurat kepada pengadilan agar nama korban tidak dimunculkan. Namun yang terjadi nama terdakwa yang hilang, nama korban masih muncul. Kok seolah-olah yang dilindungi privasinya adalah terdakwa, bukan korban yang jelas-jelas dirugikan jika data pribadinya tersebar," ungkap Syarifain. 


Keluarga korban juga sempat mengeluh mengenai kondisi persidangan seperti yang dijelaskan dalam tweet Iman Zanatul Haeri. Sebab itu, kuasa hukum akan mengirimkan laporan pada instansi terkait. 


"Menurut kami ini ada keanehan, deliknya adalah UU ITE persidangan terbuka. Namun saat pengacara dan keluarga korban hadir di persidangan, persidangan dinyatakan tertutup tanpa alasan yang jelas," ungkap Syarifain.


Setelah berdiskusi panjang, kuasa hukum dan keluarga memutuskan untuk membuka kasus ini secara publik. Berharap dukungan dari masyarakat luas agar memantau proses peradilan yang dianggap banyak kejanggalan. 


"Betul, itu keputusan kami. Pengacara sudah berusaha keras di dalam persidangan. Keluarga berharap dengan melapor ke posko PPA Kejaksaan, kami akan mendapatkan rekomendasi yang adil dan fair. Ternyata tidak, saya dimarahi karena lapor. Jika keadilan di PN Pandeglang tidak kami dapatkan, ya sudah biar kita gelar kebenaran di twitter,” ungkap Iman Zanatul Haeri.


Iman juga menyayangkan respons satuan tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di Universitas Negeri Ageng Tirtayasa (Untirta) yang dinilai lamban dalam menangani kasus ini.


"Sejak Januari 2023 kami sudah melapor ke Satgas PPKS Untirta, Februari juga kami memenuhi undangan pihak satgas. Namun setelah itu tidak ada kabar lagi. Baru muncul malam tadi menghubungi setelah viral. WA saya tidak dibalas selama tiga bulan. Memang harus viral dulu,” ungkap Iman.


Klarifikasi Kajati Banten
Kepala Kejaksaan  Tinggi (Kajati) Banten Didik Farkhan Alisyahdi mengatakan bahwa ada kesalahpahaman terkait viral korban pemerkosaan dipersulit oleh jaksa saat sidang di Pengadilan Negeri Pandeglang. Didik menyebut kasus ITE yang menimpa korban IAK sendiri sudah disidangkan dari penyidikan Polda Banten.


"Kita mau memperjuangkan korban, kita jaksa malah jadi korban salah paham. Jaksa sudah mewakili, sudah menyidangkan kasus ini. Malah dibully seolah-olah tidak berpihak pada korban," kata Didik, Senin (26/6/2023) memberikan keterangan secara daring kepada wartawan. Dalam konferensi pers tersebut, Didik juga ditemani Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pandeglang, Helena Octaviane.


Sidang perkara di atas, kata Didik sudah berlangsung sebanyak tiga kali di Pengadilan Negeri Pandeglang. Setelah sidang ketiga itu, kakak korban datang ke Kejari Pandeglang. Kakak korban juga melaporkan bahwa adiknya itu diperkosa selama 3 tahun oleh terdakwa.


Sesuai hukum acara, korban agar melapor kasus perkosaan ke Polda Banten. Selain itu, karena pemerkosaan itu sudah lama jadi jaksa menanyakan masalah visum. Namun, hal itu katanya dianggap tidak merespons.


"Di persidangan viral di twitter melarang masuk. Itu kan kasus kesusilaan itu memang tertutup hakim yang mengatur," jelas Kajati.


Selanjutnya, Didik meminta Jaksa Nia untuk menerangkan mengenai perkara yang dialami korban berdasarkan dakwaan di pengadilan. Diterangkan bahwa terdakwa dalam perkara ini adalah Alwi Husen Maolana.


Berdasarkan keterangan Didik, terdakwa dan korban sendiri sudah saling mengenal sejak 2015-2016 ketika masih SMP. Hubungan terjadi antara terdakwa hingga jenjang kuliah dengan korban. Terdakwa memiliki video berisi konten tertentu yang bersifat asusila antara terdakwa dan korban.


Konten itu lalu digunakan oleh terdakwa sebagai alat pengancaman. Jika akan putus hubungan antara keduanya, maka terdakwa mengancam akan menyebarkan video tersebut. Terdakwa juga katanya mengirim pesan berisi ancaman. Bahwa video asusila tersebut akan dikirim ke teman IAK.


Berdasarkan info Iman Zanatul Haeri, Selasa (27/6/2023) hari ini pukul 09.00 WIB akan dilakukan sidang tuntutan kasus pemerkosaan dan ancaman kekerasan kepada terdakwa ALW di Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten.


Pewarta: Fathoni Ahmad​​​​​​​
Editor: Kendi Setiawan