Nasional

Waketum PBNU Ungkap Peran NU dalam Perdamaian di Afghanistan

Kam, 7 Juli 2022 | 21:30 WIB

Waketum PBNU Ungkap Peran NU dalam Perdamaian di Afghanistan

Delegasi Global Exchange on Religion in Society (GERIS) saat berkunjung ke PBNU. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa baru kembali dari Afghanistan beberapa hari lalu. Hal tersebut disampaikan kepada delegasi Global Exchange on Religion in Society (GERIS) saat berkunjung ke PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Rabu (6/7/2022).


“Saya baru kembali dari Afghanistan di Kabul dengan ulama-ulama OIC dari berbagai negara, bertemu dengan pemerintah,” demikian Kiai Zulfa membuka pernyataannya.


Pernyataan tersebut menarik perhatian seluruh delegasi. Beberapa di antaranya mengajukan berbagai pertanyaan mengenai peranan NU dan Indonesia dalam membangun perdamaian di Afghanistan.


Kiai Zulfa menjelaskan, bahwa NU memiliki cabang secara khusus di negara tersebut. Anggotanya warga Afghanistan yang memiliki kesamaan pandangan dengan NU. Melalui mereka, NU terus membangun komunikasi dalam upaya membangun perdamaian di tengah konflik yang belum mereda di sana.


Kehadiran Kiai Zulfa ke negara tersebut memang mewakili NU atas permintaan Pemerintah Indonesia. “Memang diminta oleh Pemerintah Indonesia mewakili negara melakukan pendekatan people dengan government,” katanya.


Sebab, Indonesia belum membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah Afghanistan saat ini pascakudeta beberapa waktu lalu. “Kami perwakilan NU dan Indonesia memberikan obat-obatan dan bantuan pangan dikirim membantu sesama manusia apapun agamanya,” lanjutnya.


Pada kesempatan tersebut, Kiai Zulfa menjelaskan bahwa isu perempuan memang menarik banyak orang. Saat datang ke Kabul, salah satunya juga isu tentang keterlibatan perempuan, termasuk juga ada pemisahan sekolah laki-laki dan perempuan. “Mungkin beberapa sahabat, berasal dari luar, ini dianggap sebagai segregasi, seakan-akan ada diskriminasi,” katanya.


Memang di pesantren NU juga, tempat belajar laki-laki dan perempuan dipisahkan. Hal ini bukan berarti perempuan laki-laki berkumpul itu dosa. “Ini pemahaman kearifan lokal yang harus dihormati,” terang Kiai Zulfa.


Para ulama memang ada yang konservatif dan moderat. Ada yang masih memegang teguh prinsip dengan berusaha mengatur belajar dan perempuan laki-laki dipisahkan. “Bukan karena dilarang. Tapi lebih menjaga fitnah,” katanya.


Di sana, ulama Afghanistan juga meminta agar orang lain memahami kebijakan yang ditetapkannya. Bertemunya laki dan perempuan bisa banyak menimbulkan problem. Satu contoh saja membuat saya memahami perempuan di sana menggunakan burka atau niqab, sementara di kota Kabul sudah seperti dari Auckland.


Ulama Afghanistan memahami itu. Butuh waktu lama dalam perubahan nilai. Dulu, perempuan keluar itu seperti aib. Sekarang sudah mulai berubah. “Itu pun saya katakan, Indonesia sudah punya menteri perempuan. Tokoh perempuan. Tidak bisa memaksakan itu secara cepat, tapi gradual,” katanya.


Lebih lanjut, Kiai Zulfa menceritakan ada sebuah foto perempuan yang kebetulan tidak menggunakan niqab. Fotonya tersebut sampai kepada istri seseorang laki-laki lain. Di kampung itu, suaminya marah. Yang memiliki foto istrinya itu dibunuh.


“Saking rendahnya wawasan di sana hal itu menjadi keributan antarsuku. Itulah kenapa pemerintah Afghanistan mengeluarkan kebijakan perempuan mengenakan burka. Sengaja atau tidak sengaja memfoto dan menimbulkan permusuhan antarsuku,” ujarnya.


Oleh karena itu, Kiai Zulfa menegaskan bahwa hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama. Butuh waktu lama untuk membuat mereka lebih terbuka.


Ia juga memberikan masukan, bahwa dunia akan mengalami perubahan. Sebuah negara konfigurasi penduduknya tidak mungkin satu. Satu saat kehidupan akan berubah. “Mereka harus siap dengan perubahan demografi, politik, dan lain. Politik antarsuku,” ujarnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin