Obituari

Gus Umar Fayumi Pati, Laras Jagat dan Filosofi Rokok Tingwenya

Rab, 6 September 2023 | 06:00 WIB

Gus Umar Fayumi Pati, Laras Jagat dan Filosofi Rokok Tingwenya

Salah satu kegiatan di PCNU Mimika yang dihadiri Gus Umar Fayumi pada Oktober 2021 (Foto: Dok PCNU Mimika)

Berita  berpulangnya Gus Umar Fayumi saya terima tengah malam. Saya ketahui setelah bangun malam pada Jumat 1 September 2023. Kabar ini menghentak tidur malam saya, teringat sosok Gus Umar yang saya kenal selama ini.


Saya mengenal beliau tidak lama, tepatnya pada akhir Oktober 2021 saat beliau berkunjung ke Mimika bersama rombongan dari PWNU Papua dan Komunitas Laras Jagad. Di antara mereka ada Kiai Ansori, Mas Thoif, Gus Mahfud.


Walaupun sebentar, namun ada kesan luar biasa yang bisa saya tangkap. Catatan kecil ini wujud penghormatan dan doa semoga menjadi amal shaleh beliau dan menyemangati saya untuk melanjutkan gagasan saat diskusi di Kantor PCNU Mimika, Papua Tengah akhir Oktober 2021 lalu.


Sang Penggagas Kecerdasan Semesta
Hingga saat itu, yang saya kenal tentang kecerdasan paling mutakhir sebatas pada kecerdasan ganda hasil karya Howard Gardner, ahli psikologi dari Amerika. Selama ini fokus kecerdasan yang dikaji hanya pada makhluk bernama manusia. 


Namun, ketika bertemu Gus Umar ternyata ada kecerdasan yang lebih besar daripada kecerdasan manusia. Sampai saat tulisan ini saya saya tulis, saya memahami bahwa kecerdasan gagasan Gus Umar ini adalah 'Kecerdasan Semesta' yang merupakan satu pendekatan untuk menemukan orbit diri untuk gerakan kemanfaatan.


"Alam semesta adalah sebuah realitas yang tercipta terpisah-pisah, namun dalam satu wujud yang harmoni. Realitas semesta terdiri dari Sang Pencipta, manusia, dan alam, yakni selain Allah dan Manusia," kata Gus Umar saat itu. 


"Realitas ini tercipta perlu kita sadari atas dasar kerahmatan Tuhan. Wujud realitas ini dicipta atas dasar cinta, menjaga harmoni, dan kesadaran memberi tanpa mengharapkan balasan. Untuk bisa menyebarkan kerahmatan ini fungsi dan tujuan manusia hadir di alam semesta ini, yakni sebagai hamba, wali, dan wakil Tuhan. Sebagai wujud kehadirannya, maka harus benar benar direalisasikan dengan gerak langkah yang nyata dan hidup. Sesuatu dikatakan hidup itu ada tandanya, yakni ada wujudnya, berfungsi, dan bermanfaat," terangnya sambil memberi contoh minum kopi.


"Saat minum kopi, kita sadari ada tiga realitas yang berbeda tetapi menyatu, yakni Allah, kopi, dan saya sebagai manusia. Ketika Allah ciptakan kopi ini dengan cinta, kita meminum kopi berarti memberi kerahmatan sebagai wakil Tuhan, hamba, dan sahabat semesta sehingga terjadi kehidupan dan gerakan yang baik berbasis pandangan, pikiran dan sikap ketuhanan," urainya.


Menurutnya, sebagai wali, manusia harus merahmati semesta alam. Secara syariat umat Islam diperintahkan untuk mengerjakan shalat yang pada hakikatnya adalah respons atas realitas agar terjadi harmoni. Shalat memancarkan energi dan sumberdaya yang dibutuhkan alam untuk tetap bisa bertahan dan harmoni. Pun manusia butuh sumber daya dari alam untuk bisa hidup. Ketika di dunia sudah tidak lagi ada orang yang shalat, berdzikir, dan lainnya, dunia akan kiamat karena alam tidak mendapatkan dari manusia berupa pasokan energi dan sumber daya untuk hidup dan menjaga harmoni.


"Alam butuh nutrisi rohani yang hanya bisa diberikan oleh manusia supaya bisa tetap hidup dan dalam keseimbangan. Sebaliknya manusia butuh nutrisi jasmani untuk bisa bertahap hidup," jelas lebih lanjut Pengasuh Komunitas Pesantren Laras Jagad, Pati, Jawa Tengah itu. 


Konsep ini ditilik dari tujuannya untuk menjaga keharmonisan antara Tuhan, manusia dan alam sehingga membawa kemanfaatan, membuatnya dinamai juga 'Laras Jagad'.


Saya berpendapat bahwa kecerdasan semesta ala Gus Umar ini sangat mendalam dan filosofis. Sebuah upaya menjaga keselarasan jagad raya dengan fokus pada usaha usaha manusia berbasis syariat Islam dan nilai kearifan lokal. Tentu karena gagasan ini bersifat filosofis, sehingga diperlukan suatu model dan desain untuk menerjemahkannya menjadi panduan gerakan bagi kultural dan struktural NU.


Merokok dengan Tingwe

Merokok bagi kalangan NU adalah hal biasa. Namun ada satu hal yang menarik dari kebiasaan merokok Gus Umar ini yakni dalam menikmati rokok.


Kebiasaan merokok dengan meracik sendiri rokoknya itu diidentikkan dengan kebiasaan orang desa atau pinggiran yakni kalangan bawah. Kebiasaan itu disebut 'rokok tingwe' singkatan dari kata rokok olehe nglinting dewe (rokok racikan dan lintingan sendiri). Boleh saja stigma itu disematkan seperti itu, tetapi jika ditanyakan kepada pelakunya hampir pasti salah.


Walaupun Gus Umar ini sorang kiai dan gus, kebiasaan merokoknya adalah kebiasaan orang desa, yakni tingwe. Ketika saya tanyakan mengapa tingwe, beliau menjawab dengan filosofis. 


"Nglinting atau memilin ini pekerjaan meracik komposisi yang tepat antara tembakau dan cengkeh untuk menemukan rasa terenak dengan papir paling terasa. Merokok adalah soal rasa, melaras rasa. Sehingga tidak bisa didapatkan sensasi ini saat merokok yang yang sudah jadi," jelasnya. 


Papir merupakan kertas yang dipakai untuk membungkus racikan tembakau tadi menjadi rokok lintingan. 


Sensasi inilah yang menurut Gus Umar amat penting sebagai sarana melaras kehidupan jagad ini. Menikmati tingwe adalah proses melaras jagad.


Saya pun penasaran lalu mengambil dan membaui tembakaunya. Ternyata baunya wangi beda dengan bau tembakau yang selama ini saya kenal. "Kok wangi, Gus? Ini tembakau dari mana?" tanya saya.


"Dari Lombok," jawabnya.


Saya goda lagi, "Kalau orang di kampung saya, di Simo, Slahung, Ponorogo, kadang racikannya dikasih kemenyan Gus. Apakah racikan ini diberi kemenyan?"


"Ya tidak lah. Bau tembakaunya saja sudah wangi," jawabnya.


Saya sendiri bukan perokok, tapi bapak saya dan lingkungan saya adalah komunitas perokok. Pengalaman hidup saya hidup di desa bersama petani, manol, buruh menjadi ukuran bahwa Gus Umar membawa sprit keberpihakan, pembelaan, dan kenikmatan ketika bersama mereka orang orang yang menjadi 'penjaga' keselarasan jagad.


Ketika lintingan sudah jadi lalu dibakar dan disedot dalam dalam sambil kakinya jigang dengan pakaian ala kadarnya. Sederhana namun penuh rasa.


Selamat jalan, Gus. Ampunan dan kasih sayang Allah semoga senantiasa menyertai Gus Umar. Saya bersaksi Gus Umar adalah orang yang baik yang mewariskan karya agung dan pola hidup dan pola pikir yang sederhana namun sangat berasa. 

 

Semoga Allah Swt mengangkat derajat Gus Umar mendapatkan tempat yang indah di sisi-Nya. Amin ya rabbal alamin.


Sugiarso, Wakil Ketua PCNU Mimika, Ketua Jamaah Istighatsah An-Nahdliyyah Mimika