Risalah Redaksi

Wafatnya Ulama: Sebuah Peristiwa Besar dalam NU

Sel, 4 Maret 2014 | 11:30 WIB

Senin, 3 Meret 2014 kemarin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyelenggarakan tahlilan 40 hari KH Sahal Mahfudh di Masjid An-Nahdlah, lantai dasar kantor PBNU jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Selain Kiai Sahal, tahlilan juga dimaksudkan untuk mendoakan beberapa kiai dan pengurus NU yang tidak lama berselang telah meninggal dunia, <> antara lain KH Masduki Mahfudz (Rais Syuriyah PBNU dari Malang), KH Zainal Arifin Munawwir dan KH Warson Munawwir (Pesantren Krapyak Yogyakarta), KH Waris Ilyas (Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep), KH Endin Fachruddin Masturo (Mustasyar PBNU, Pesantren Al-Masthuriyah Sukabumi), H Fajrul Falakh (mantan Ketua PBNU, Jakarta) dan H Abdullah Machrus (mantan Bendahara PBNU, Pekalongan).

Memang beberapa bulan terakhir beberapa kiai dan pengurus NU meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan. KH Warsun Munawwir meninggal pada Kamis 18 April 2013. Belum genap satu tahun, awal tahun 2014 warga Nahdliyin dikejutkan dengan meninggalnya pucuk pimpinan NU KH Sahal Mahfudh pada 24 Januari.  Tidak lama berselang, H Abdullah Machrus meninggal pada Jum’at 7 Februari, beberapa hari kemudian H Fajrul Falaakh meninggal pada Rabu 14 Februari, KH Zainal Munawwir meninggal pada Sabtu 15 Februari, KH A Warits Ilyas pada 22 Februari, dan KH Masduki Mahfudz meninggal pada 1 Maret.

Dalam kultur masyarakat NU, wafatnya kiai dan para sesepuh mempunyai daya magnet yang sangat kuat untuk mengumpulkan warga yang tercerai-berai di berbagai tempat. Warga berkumpul dalam momen takziyah, shalat jenazah, hingga acara tahlilan 7 hari, 40 hari, setahun (haul), dan 1000 hari. Warga tak mesti berkumpul di rumah duka, tetapi juga di tempat yang jauh untuk menggelar shalat ghaib dan doa bersama atau tahlilan.

Ketika seorang kiai pesantren meninggal dunia, spontan para alumni pondok pesantren yang tersebar di banyak tempat akan terhubung melalui berbagai saluran komunikasi. Beberapa alumni pesantren langsung meluncur ke pesantrennya dan bertemu dengan teman-temannya sesama santri yang telah terpisah beberapa tahun lamanya. Acara haul atau peringatan tahunan meninggalnya kiai juga menjadi alasan para santri untuk berkumpul. Lalu, biasanya banyak program dan agenda tersusun dari pertemuan itu.

Kabar meninggalnya kiai juga cepat sekali tersebar. Sekarang semua orang sudah memegang telepon genggam, sehingga di tengah malam pun tak ada alasan untuk tidak menyebarkan berita duka kepada banyak orang. Di NU Online, meninggalnya kiai atau pengurus NU termasuk salah satu di antara berita yang paling populer, lebih banyak dibaca dari berita-berita yang bersifat formal organisasi yang bersifat instruksional. Pasti ada alasan untuk itu.

Lebih dari itu, wafatnya kiai dan para sesepuh merupakan peristiwa besar, entah di NU atau pesantren sebagai pembentuk karakter utamanya. Ini terkait dengan proses perpindahan kepemimpinan. Di NU atau di pesantren, pemimpin utama bukan sekedar orang yang paling alim, tetapi juga yang paling sepuh. Barangkali ini tercermin dari prosesi shalat berjamaah. Bahwa yang menjadi imam utama dalam shalat berjamaah lima waktu di pesantren bukan yang paling fasih atau paling bagus bacaan Al-Qur’annya, tetapi yang paling tua usianya. Proses pergantian pemimpin berlangsung secara teratur dan alamiah. Secara umum, jika masih ada yang tua, yang muda tidak akan berani menjadi imam shalat. Dan seperti shalat, memimpin NU tidak semata pemimpin organisasi, tetapi juga memimpin untuk menjalankan ajaran agama. (A. Khoirul Anam)