Risalah Redaksi

Harapan Baru Setelah Suksesnya Perayaan Idul Fitri 1443 H

Ahad, 8 Mei 2022 | 19:30 WIB

Harapan Baru Setelah Suksesnya Perayaan Idul Fitri 1443 H

Harapan Baru Setelah Suksesnya Perayaan Idul Fitri 1443 H

Idul Fitri 1443 H berlangsung dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan setelah umat Islam bisa lepas dari berbagai pembatasan yang dilakukan selama dua kali perayaan lebaran sebelumnya. Masyarakat mendatangi berbagai masjid dan lapangan untuk mengikuti shalat Id. Silaturahim ke sanak saudara dan kerabat berlangsung sebagaimana tradisi yang selama ini telah berjalan. Para perantau dapat pulang ke kampung halaman dengan melepas berbagai kekhawatiran.

 

Saat ini Indonesia sedang dalam proses transisi dari pandemi menuju endemi, yang meniscayakan dipenuhinya berbagai persyaratan. Kita semua berharap agar pandemi Covid-19 segera berakhir dan kehidupan berlangsung normal sebagaimana sebelumnya.

 

Covid-19 telah menjadi kejutan global dan mengubah kehidupan di dunia. Secara total terdapat 517 juta kasus dengan tingkat kematian mencapai 6,25 juta orang. Banyak orang yang kehilangan anggota keluarga yang menjadi penopang utama kehidupannya. Hidup mereka berubah untuk selamanya dan dampaknya bisa lintas generasi.

 

Selama dua tahun ini, kita telah belajar banyak bagaimana mengatasi Covid-19. Tampaknya kita juga mesti belajar hidup berdampingan dengan virus tersebut, termasuk mengantisipasi munculnya berbagai varian baru setelah kita mengalami gelombang varian Delta dan Omicron. Belum semua bagian di dunia aman dari ancaman virus ini. Kota Shanghai di China hingga kini  masih mengalami lockdown ketat untuk menghindari penyebaran virus tersebut.

 

Untuk mengatasi Covid-19, sejumlah negara mesti menambah pinjamannya, termasuk Indonesia. Sebelum merebaknya Covid-19, yaitu pada Maret 2020 jumlah utang Indonesia mencapai Rp5.192,56 triliun sementara pada Februari 2022 jumlah utang telah mencapai Rp7.014,58 triliun. Artinya selama dua tahun, telah terjadi penambahan utang sebesar 1.822,02 triliun. Itu jumlah utang yang sangat banyak. Entah berapa lama utang-utang tersebut harus dicicil sampai lunas. Rakyat mesti menanggungnya melalui kenaikan berbagai pajak.

 

Ada berbagai hal yang berubah untuk selamanya, seperti kebiasaan untuk melakukan telekonferensi atau membeli berbagai hal secara daring. Namun banyak hal perlu ditata ulang atau dipulihkan seperti metode pembelajaran. Banyak orang kehilangan pekerjaan dan mesti memulai hidup dari awal lagi, disertai dengan utang yang menggunung guna menyambung hidup selama pandemi.

 

Sekolah tingkat dasar dan menengah telah melaksanakan pembelajaran tatap muka, namun sebagian perguruan tinggi masih melaksanakan pembelajaran secara daring. Mahasiswa yang saat ini masuk semester 4 tanpa sadar sudah menjalani perkuliahan selama 4 semester tanpa mengenal secara langsung teman-teman kampusnya atau tidak tahu lingkungan kampusnya seperti apa. Capaian pembelajaran daring jauh lebih rendah dibandingkan dengan PTM, apalagi bagi pembelajar tingkat dasar dan menengah. Jika tidak dilakukan perbaikan, maka pelajar “generasi Covid-19” akan memiliki kualitas yang lebih rendah dan akan mempengaruhi produktivitasnya di masa depan. 

 

Pesantren umumnya telah beroperasi secara normal. Para santri telah masuk ke asrama dan menjalani proses belajar mengajar seperti sebelum pandemi. Pesantren tak memiliki banyak pilihan mengingat pembelajarannya tak sekadar meningkatkan pemahaman kognitif yang bisa dilakukan secara daring. Terdapat aspek afektif seperti pengajaran, akhlak, etika dan kesopanan termasuk penghormatan kepada teman sebaya dan orang tua. Aspek psikomotorik seperti kebiasaan untuk bangun sebelum subuh guna mengikuti shalat tahajud tentu tak bisa dilakukan secara daring.

 

Pandemi menyadarkan kita terkait dengan pentingnya memperhatikan sektor kesehatan. Berdasarkan amanat UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, alokasi APBN untuk kesehatan sekitar 5 persen. Pada APBN 2022, anggaran kesehatan mencapai 9,4 persen atau setara dengan 256 triliun. Namun, persentase tersebut masih jauh di bawah saran dari World Health Organization (WHO) sebesar 15 persen dari APBN dan 5 persen dari produk domestik bruto (PDB).

 

Sejarah telah mencatat berbagai wabah yang menimpa manusia. Namun manusia bisa melampauinya dengan baik. Kerusakan lingkungan, perubahan iklim, mobilitas yang semakin tinggi atau faktor lainnya dapat dengan mudah memunculkan wabah baru yang tidak diperkirakan sebelumnya. Sekalipun teknologi kesehatan semakin canggih dan manusia semakin pintar, tidak ada jaminan kita mampu mengendalikan alam sepenuhnya. Yang dapat dilakukan adalah meminimalisir dampak yang ditimbulkan. 

 

Menurut laporan BBC, Flu Spanyol 1918-1920 menginfeksi sepertiga penduduk dunia yang saat itu berjumlah 1,8 milyar jiwa dan menewaskan 40-50 juta orang. Perkembangan dunia kesehatan dan kedokteran terbukti telah mampu meminimalkan jumlah korban Covid-19. Namun demikian, 6,25 juta jiwa tetaplah jumlah yang banyak dan yang paling rentan menjadi korban adalah kelompok miskin. Mereka merupakan kelompok yang paling terpuruk dalam situasi bencana.  
 

Kita tak boleh meratapi bencana yang terjadi selama dua tahun belakangan. Ada banyak pelajaran dan hikmah yang menjadi bahan refleksi supaya kita hidup lebih baik lagi di masa depan. Peristiwa ini sekaligus mengingatkan bahwa bagaimana pun kepintaran manusia dan kecanggihan teknologi, kita tak mampu mengendalikan semua hal. Peristiwa ini juga untuk mengingatkan kembali jati diri kita sebagai makhluk yang lemah di hadapan semesta jagat raya yang sedemikian luas dan kompleks. (Achmad Mukafi Niam)