Risalah Redaksi

Tantangan Menurunkan Angka Kematian Jamaah Haji Indonesia

Ahad, 5 Juni 2022 | 19:00 WIB

Tantangan Menurunkan Angka Kematian Jamaah Haji Indonesia

Tantangan Menurunkan Angka Kematian Jamaah Haji Indonesia. (Foto ilustrasi: setkab.go.id)

Angka kematian jamaah haji Indonesia selama di Arab Saudi adalah sekitar 2 per mil dengan jumlah 300-400 orang per tahun. Menurut data Kementerian Kesehatan RI, dalam sepuluh tahun terakhir, proporsi tingkat kematian tersebut tidak banyak berkurang. Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti India dan Malaysia, tingkat kematian tersebut jauh lebih tinggi karena angka kematian jamaah haji India hanya 1 per mil sedangkan Malaysia 0,3 per mil. Dengan perbandingan tersebut, Indonesia terlihat buruk.

 

Salah satu yang menjadi target dalam pelaksanaan ibadah haji tahun 2022 adalah menurunkan tingkat kematian jamaah haji pada tingkat 1 per mil. Berbagai upaya dan langkah telah disiapkan untuk mencapai target tersebut.

 

Tingkat kematian ditentukan oleh dua faktor, pertama dari aspek jamaah dan kedua dari kualitas layanan kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan jamaah haji. Pada aspek jamaah pun masih dapat dibagi lagi dalam aspek psikologis dan aspek fisik. Jamaah yang berusia tua atau memiliki penyakit bawaan (komorbit) memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan jamaah haji yang masih berusia lebih muda dan tidak memiliki penyakit bawaan. Penyakit yang menjadi penyebab kematian adalah kardiovascular atau jantung dan respiratory disease atau gangguan pernapasan.

 

Soal kepercayaan atau keyakinan yang merupakan bagian dari aspek psikologis perlu mendapat perhatian. Ada sebagian jamaah bahkan berkeinginan untuk meninggal di Tanah Suci karena adanya keutamaan jika wafat di tempat tersebut. Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim bahwa barang siapa yang meninggal dalam perjalanan haji, ia seperti orang yang mati di jalan Allah. Banyak hadits lain yang menyampaikan keutamaan orang yang meninggal saat dalam perjalanan haji. Imam Nawawi dalam kitab Al Azkar juga menganjurkan agar seseorang berharap untuk meninggal di tempat yang mulia seperti Makkah atau Madinah.

 

Orang yang memiliki keinginan meninggal di Tanah Suci menjalankan berbagai aktivitas selama berhaji secara berbeda dari kelompok yang ingin tetap sehat dan kembali ke rumah dengan selamat. Mereka akan memperbanyak sunnah-sunnah ibadah haji tanpa peduli kondisi tubuh. Mereka telah siap mati untuk itu. Toh, jika meninggal, akan masuk kategori orang yang syahid dengan segala keutamaannya.

 

Cita-cita meninggal di Tanah Suci jelas berkebalikan dengan upaya pemerintah untuk menurunkan tingkat kematian jamaah haji. Anjuran-anjuran untuk menjaga kesehatan yang disampaikan oleh dokter dan tenaga kesehatan tidak akan masuk dalam pikiran mereka. Justru kematian yang mereka inginkan. Mengingatkan orang yang memiliki keyakinan seperti ini pun tak mudah. Salah-salah bisa didamprat, wong ibadah kok dilarang.

 

Kategori kedua adalah orang yang tidak ingin meninggal di Makkah atau Madinah, tetapi mereka ingin memaksimalkan ibadahnya selama di Arab Saudi. Biaya perjalanan ibadah haji cukup mahal untuk sebagian orang. Mereka menabung, mendaftar, dan menunggu lama untuk bisa berangkat ke sana. Dan belum tentu, mengingat faktor biaya atau usia, bisa kembali lagi. Karena itu, mumpung di sana, mereka berusaha memaksimalkan berbagai macam ibadah sunnah seperti umrah berkali-kali, berusaha secara terus menerus shalat jamaah di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, atau beragam ibadah sunnah lainnya.

 

Inti ibadah haji berlangsung selama lima hari, meliputi perjalanan dari Makkah untuk wukuf di Arafah, lalu ke Muzdalifah, dan terakhir di Mina yang berlangsung antara 9-13 Dzulhijjah. Selama 42 hari masa tinggal di Arab Saudi, hari-hari lainnya merupakan masa menunggu inti ritual haji atau menunggu jadwal kepulangan ke Indonesia. Selama waktu tersebut, rutinitas jamaah adalah menjalani berbagai ibadah sunnah.

 

Semangat untuk memaksimalkan ibadah sunnah yang tidak disertai kemampuan untuk mengelola waktu dan memahami kondisi tubuh menyebabkan banyak orang meninggal, pingsan atau dirawat. Masa berada di Arafah, Muzdalifah, dan Mina adalah masa-masa puncak kematian jamaah haji.

 

Data antara tahun 2017-2019 yang dirilis Kemenkes menunjukkan pola yang sama. Dari 70 hari periode pelaksanaan haji atau 10 pekan, kematian tertinggi terjadi pada pekan ke-6 dan ke-7 yang merupakan periode puncak ibadah haji. Tahun 2017, jumlah kematian pekan ke-6 dan ke-7 adalah 187 dan 144 jamaah. Tahun 2018 kematian pada pekan yang sama berjumlah 79 dan 70 jiwa; tahun 2019 pada periode yang sama jumlah kematian 110 dan 108 orang. Kematian di luar dua pekan, baik sebelum atau sesudahnya lebih rendah.

 

Haji adalah ibadah fisik, yaitu dibutuhkan badan yang sehat dan kemampuan fisik yang baik untuk menjalankan berbagai ritualnya. Jamaah bergerak dari Makkah ke Arafah, lalu ke menginap Muzdalifah dan dilanjutkan menginap di Mina. Sebagian dari perjalanan tersebut harus ditempuh dengan jalan kaki yang bisa mencapai 7 kilometer dalam cuaca terik dalam kumpulan massa yang besar. Kondisi badan yang sudah capek karena ibadah-ibadah sunnah menjadi penyebab peningkatan kematian.

 

Pada aspek keyakinan dan peribadatan, para pembimbing jamaah haji memiliki peran sangat krusial. Mereka dapat mengingatkan supaya jamaah tidak perlu memaksakan diri menjalankan ibadah sunnah selama di Makkah. Sebagai contoh, jamaah perlu diingatkan tidak harus setiap saat shalat jamaah di Masjidil Haram karena semua ibadah di tanah haram pahalanya sama; atau tidak perlu memaksakan diri melempar jumrah jika fisiknya tidak mampu karena hal tersebut bisa diwakilkan.

 

Untuk layanan kesehatan, salah satu terobosannya adalah pemberian gelang khusus seperti smart watch (jam tangan pintar) bagi jamaah haji berisiko tinggi. Petugas akan memonitor melalui sistem digital melalui aplikasi TeleJamaah meliputi data detak jantung, tekanan darah, saturasi oksigen, hingga pengingat waktu untuk minum. Selanjutnya, untuk menunjang layanan kesehatan, sebanyak 18 ton yang terdiri dari 173 item obat dan 45 item perbekalan kesehatan telah dikirim ke Arab Saudi.

 

Mereka yang berangkat haji, berharap dapat mencapai haji mabrur, berangkat diantar oleh kerabat dan keluarga dengan suka cita dan semoga dapat kembali berkumpul keluarga dengan selamat. Kita semua dapat berkontribusi dalam kesuksesan tersebut. (Achmad Mukafi Niam)