Obituari

Pemeran KH Hasyim Asy’ari di Film Sang Kiai Wafat, Ini Profilnya

Sel, 7 Maret 2023 | 17:00 WIB

Pemeran KH Hasyim Asy’ari di Film Sang Kiai Wafat, Ini Profilnya

Ikranagara, pemeran Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari dalam film Sang Kiai. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online

Aktor senior, Ikranagara yang memerankan sosok Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dalam film Sang Kiai, dikabarkan wafat di Bali pada Senin (6/3/2023) kemarin. Tokoh teater Indonesia ini lahir wafat di usia hampir 80 tahun. 


Akun Instagram Festival Film Indonesia mengenang sosok Ikranagara yang seorang aktor, penulis skenario, pelukis, dan sastrawan. Ia dikenal karena peran komedi dan dramanya dalam film Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986) dan Keluarga Markum (1986). Ikra juga pernah membintangi film Laskar Pelangi (2008), Garuda di Dadaku (2009), dan Sang Kiai (2013). 


Ikranaga, sepanjang karier sebagai aktor, berhasil mendapatkan nominasi Piala Citra FFI untuk kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik sebagai paman yang menjengkelkan lewat film Kejarlah Daku Kau Kutangkap dan Pemeran Utama Pria Terbaik sebagai tokoh Pendiri NU KH Hasyim Asy’ari lewat film Sang Kiai. 


Profil Ikranagara

Ikranagara lahir di Jembrana saat masih dalam pendudukan Jepang, pada 19 September 1943. Ia dibesarkan oleh ayah berdarah Madura-Makassar yang merupakan seorang aktivis NU di Banyuwangi, Jawa Timur. Sementara ibunya adalah keturunan Jawa-Bali. 


Dilansir archive.org saat duduk di sekolah dasar (SD), Ikranagara sudah dikenal sebagai anak yang pandai berkesenian terutama untuk mengarang dan menggambar. Ikra pernah belajar ke ayah temannya yang merupakan seorang dalang sekaligus pembuat wayang. Sementara dari keluarga, Ikra terpengaruh dalam hal mengarang. 


Saat di sekolah menengah pertama, ia sudah membuat puisi yang dimuat di koran lokal yang ada di Bali. Puisi-puisi yang dibuatnya itu terpengaruh oleh gaya penulisan penyair Chairil Anwar. Kemudian ia bersekolah di SMA Negeri Singaraja. Di sekolah ini, Ikra bertemu dengan Putu Wijaya dan membuat grup teater. 


Awalnya, Ikra mengaku takut untuk tampil di muka umum sehingga ia hanya ingin menjadi pengarang. Tetapi Putu Wijaya memaksa Ikra untuk bermain teater. Akhirnya Ikra mau main. Bahkan Ikra mengaku bahwa teater mampu menghilangkan rasa malu, sampai-sampai karena sangat asyik berteater ia pernah tidak naik kelas. 


Lantaran ingin menjadi dokter, Ikra pindah ke SMA Banyuwangi, Jawa Timur. Di sini, ia satu kos dengan penyair Armaya. Jiwa seni Ikra semakin menjadi-jadi. Ia kemudian masuk Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) Banyuwangi yang tokohnya adalah Hasnan Singodimaya. Lewat Hasnan dan Armaya, Ikra mulai belajar ideologi kesenian. 


Kemudian ia melanjutkan studi ke Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK-UGM). Di kampus ini, jiwa seninya malah makin menggila. Kuliah praktikum tidak penting lagi baginya. Ia makin larut dan asyik berteater. Impian-impian orang tua dan masyarakat mengenai titel, menjadi tidak penting lagi buatnya. 


Waktu Ikra menulis puisi, ia lebih memilih obyek alam, ombak, gunung, dan bulan. Tetapi akhirnya ia lebih banyak menulis drama, karena latar belakang pendidikannya yang pasti alam. Teater ternyata lebih memberikan ruang untuk mengekspresikan pikiran-pikiran, ideologi, dan renungan-renungannya. 


Setelah semakin banyak wawasan, Ikra tersadar bahwa puisi ternyata juga bisa memberikan ruang untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya. Ia kemudian berkesimpulan bahwa pengarang adalah seorang intelektual juga.

 
Ikra tumbuh dan besar di Bali dalam lingkungan yang sangat tradisional, sehingga ia menciptakan suatu teater baru. Ia mendekonstruksi teater tradisional dalam arti yang positif. Dekonstruksi ini juga telah dilakukan sebelumnya oleh WS Rendra dan Arifin C Noer. WS Rendra menggali budaya Jawa, sedangkan Arifin C Noer menggali kesenian Cirebon dan Betawi. Sementara Putu dan Ikra menggali budaya Bali. 


Dekontruksi ini adalah suatu proses kreatif. Dalam kesenian rakyat, tanggung jawab sosial selalu ada. Terutama ababila dilakukan oleh para badut, misalnya dalam wayang goro-goro. Meskipun wayang bicara tentang masa lalu India, tetapi di dalam ‘Goro-goro’ yang bicara mengenai masa-masa yang relevan dengan tanggung jawab sosial.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad