Opini

17 Oktober 2019: Selamat Datang Kewajiban Bersertifikat Halal (2)

Ahad, 6 Oktober 2019 | 22:00 WIB

Oleh Mastuki HS

 

Apapun kondisinya, 17 Oktober sudah di depan mata. Tak boleh ada kata mundur, apalagi mengelak. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang diamanahi oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH) untuk melaksanakan jaminan produk halal, siap tak siap harus siap. Karenanya, berbagai persiapan mesti dilakukan. Semua tenaga harus dikerahkan. Semua jaringan mesti dimanfaatkan. Segala sumberdaya (resources) tak boleh tidak harus diberdayakan. Beruntung BPJPH punya stakeholders halal yang banyak. Setidaknya dua belas kementerian dan lembaga yang terkait langsung dengan persoalan halal. Ini menjadi modal institusional (institutional capital) penting jika disinergikan dengan maksimal. Artinya, soal halal menjadi konsen banyak pihak.

 

Rapat kordinasi antar kementerian dan lembaga yang diinisiasi BPJPH tanggal 2 Oktober lalu memercikkan optimisme dan kesiapan pemerintah menjelang pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal 17 Oktober 2019. Kementerian perindustrian, perdagangan, koperasi dan UKM, pertanian, luar negeri, dalam negeri, BPOM, KAN, bahkan Polri hadir dan menyatakan komitmen. BPJPH juga menyodorkan naskah nota kesepahaman untuk mengikat para pihak dalam membantu layanan, sosialisasi, edukasi, fasilitasi sertifikasi halal sampai penyediaan penyelia halal yang akan bertugas sebagai ‘pendamping’ proses produksi, khususnya bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Langkah ini menjawab aspirasi banyak pihak menginginkan adanya semacam discriminative action dari pemerintah untuk pelaku usaha mikro dan kecil dalam sertifikasi halal.

 

Sertifikasi halal adalah ranah pelayanan publik yang menjadi konsen Ombudsman RI. Beberapa waktu lalu Ombudsman melansir hasil pengawasan terhadap kesiapan layanan BPJPH dalam melaksanakan mandat UU 33 tahun 2014. Menurut Ombudsman, salah satu titik kritis BPJPH adalah ketidaksiapan pelaksana sertifikasi halal di daerah. Temuan ini tak sepenuhnya benar karena status BPJPH sebagai PK-BLU tak memiliki struktur organisasi di daerah. Namun demikian, komitmen mendekatkan layanan ke masyarakat, BPJPH dalam waktu dekat akan membentuk “perwakilan” di daerah melalui Kanwil Kemenag. Selain karena resource yang dimiliki Kanwil cukup memadai, ada ASN/PNS dan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), langkah ini guna merespon lesson learned MUI yang telah melaksanakan layanan desentralisasi dalam sertifikasi halal sampai provinsi. LPPOM-MUI mendelegasikan layanan sertifikasi halal ke daerah untuk jenis produk lokal. Sidang fatwa penetapan kehalalan produk pun dilaksanakan MUI Provinsi. Dengan membuka layanan di Kanwil Kemenag, BPJPH berharap akan terjadi akselerasi layanan sertifikasi halal seperti diinginkan para pelaku usaha. MUI sebagai partner strategis BPJPH dalam 3 skema utama kerjasama: akreditasi LPH, sertifikasi auditor halal, dan penetapan kehalalan produk.

 

LPPOM-MUI saat ini adalah satu-satunya lembaga yang melaksanakan fungsi LPH, yakni pemeriksaan dan/atau pengujian produk. Mengacu pada UU JPH, LPH existing tetap diakui. Yang dimaksud klausul ini adalah LPPOM-MUI. Karena itu, dalam RPMA posisi LPPOM sebagai LPH dipertegas lagi. Sebagai lembaga pemeriksa/pengujian produk, LPH adalah bagian tak terpisahkan dalam proses sertifikasi halal. Karena itu, LPPOM-MUI diberi waktu dua tahun untuk menyesuaikan dengan ketentuan PMA setelah diundangkan. Pada saat yang sama, BPJPH akan mendorong pendirian LPH baru di berbagai daerah. Tujuannya untuk memberikan pelayanan maksimal kepada pelaku usaha di seluruh Indonesia untuk sertifikasi halal.

 

Dari Voluntary menjadi Mandatory

 

BPJPH masih seumuran jagung. Lahir tanggal 11 Oktober 2017, BPJPH langsung dipaksa berlari untuk mengemban tugas berat menyelenggarakan jaminan produk halal di Indonesia. Sebagai anak kandung Kemenag RI, BPJPH sejatinya melanjutkan estafet perjuangan halal yang kurang lebih 30 tahun dilaksanakan oleh MUI bersama LPPOM-MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obatan-Obatan dan Kosmetika). Karenanya, kurang bijak jika menilai dan berharap lebih terkait dengan JPH otomatis berjalan seperti sediakala.

 

Perpindahan pengelolaan dari MUI ke BPJPH perlu masa transisi yang cukup dan diatur secara smooth dan wise. Infrastuktur halal dan sumberdaya yang dimiliki MUI sebagai modal, tapi tak bisa dialihkan begitu saja dan tiba-tiba. Ketegangan psikologis tak bisa dipungkiri muncul jua. Struktur organisasi dan manejemen pastilah berubah senafas dengan bisnis proses yang berbeda. Lingkungan strategis dan tantangan yang dihadapi BPJPH tentu berbeda dengan MUI saat memulai pelayanan halal 30 tahun lalu. Kompleksitas masalahnya juga unik, tak bisa disamakan. Lebih-lebih ketika jabang bayi bernama BPJPH lahir di saat perkembangan teknologi, perubahan sosial, dan kesadaran publik terhadap halal makin membaik. “Solusi yang tepat di waktu yang tepat” tampaknya diperlukan.

 

Anyway, ekspektasi masyarakat sudah kadung besar. Kehadiran BPJPH diangankan sebagai era baru penyelenggaraan halal di Indonesia. Dengan hastag #HalalIndonesia, BPJPH mengambil peran historis dengan mentransformasi pemberlakuan penyelenggaraan halal di Indonesia dari semula bersifat sukarela (voluntary) menjadi kewajiban (mandatory); dari semula dilaksanakan oleh ormas keagamaan Islam beralih menjadi tanggung jawab negara. Dalam peran krusial ini, BPJPH menjadi jembatan penghubung relasi agama dan negara yang secara eksperiensial telah berhasil dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia. Kementerian Agama yang mengusung moderasi beragama menjadi representasi kemampuan Islam Indonesia mengakomodasi sekaligus menemukan jalan keluar terbaik bagaimana relasi agama dan negara dirajut dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Bagi umat Islam, persoalan halal bukan semata soal produk, tapi berkaitan dengan sipiritualitas karena merupakan perintah agama. Al-Quran menyebut perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (halalan thayyiban). Sekian hadits bicara soal pentingnya konsumsi halal yang berimplikasi pada pembentukan karakter muslim. Halal dalam perspektif ushuliyah merupakan kebutuhan dasar manusia (ad-dharuriyat al-khamsah) untuk menjaga kelangsungan hidup: hifd al-nafs, hifd al-nasl.

 

Pada saat yang sama, penyelenggaraan halal menemukan pijakan kuat pada konstitusi Indonesia, yakni UUD RI 1945, terutama pasal 29 ayat 2 yang mengamanatkan “negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Untuk menjamin itu, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Atas amar inilah, lahir UU nomor 33 tahun 2014 yang menyebutkan tujuan penyelenggaraan JPH adalah  1) memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan 2) meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.

 

Kini, produk halal telah menjadi kesadaran global bahkan gaya hidup (halal life style). Karenanya mengelola halal meliputi mata rantai yang panjang, dari hulu ke hilir. Halal-value chain. Halal juga berkaitan dengan multi-stakeholders. Penetapan kehalalan produk perlu peran institusi lain: otoritas keagamaan (MUI), lembaga pemeriksa dan pengujian produk (LPH), pengawas produk (BPOM), peredaran barang/produk dari dalam dan luar negeri (Kementerian perindustrian, perdagangan, bea cukai), hubungan luar negeri, kerjasama internasional dengan lembaga halal negeri (Kemenlu), hingga lembaga akreditasi (KAN, BSN). Belum lagi pelaku usaha yang terdiri atas perusahaan besar, menengah, kecil dan mikro di bawah kordinasi dan pembinaan kementerian/lembaga lain (Kemenkes, Kemenkop UKM, Pemda, dan Kemendag).

 

Banyak pihak yang konsen dengan halal. Presiden, Wapres, MUI, para menteri, perguruan tinggi, pemda, ormas keagamaan, para pelaku usaha, dan dunia bisnis. Untuk memastikan layanan sertifikasi halal dipersiapkan dengan optimal, konsolidasi internal dan kordinasi serta komunikasi lintas instansi mesti harus tempuh. Kepalang tanggung. Amanat UU mesti dijalankan. Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.

 

Penulis adalah Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH