Opini

Air itu Dimintakan dari Gus Muwafiq

Sab, 7 Desember 2019 | 13:00 WIB

Air itu Dimintakan dari Gus Muwafiq

Gus Muwafiq (Foto: NU Online)

Beberapa waktu lalu, saya pulang ke rumah untuk hormat peringatan 40 hari menghadapnya Pak Lik saya ke hadirat Ilahi Rabbi. Saya menemui Bu Lik saya, dengan membawakan bakso untuk ketiga putra-putrinya yang ada di rumah. Kemudian ngobrol panjang lebar pun terjadi.

 

Di sela-sela itu, saya tanya pada Bu Lik saya, bagaimana keadaan Nenek? apakah beliau sudah sembuh? Maklum, semenjak kepergian Pak Lik saya, Nenek jadi sakit-sakitan, sampai dibawa ke rumah sakit. Terakhir, saya menjenguk Nenek terbaring di Rumah Sakit Islam Wonosobo, dengan kondisi kritis: nafasnya terengah, memakai tabung oksigen.

 

"Nenek sudah sehat. Buktinya beliau sudah bisa 'marah-marah', membangunkan para santri pada subuh kemarin," jawab Bu Lik saya. "Semenjak minum air dari Gus Muwafiq, kesehatannya membaik," imbuhnya. "Alhamdulillah kalau begitu," jawabku.

 

Tidak baru kali ini saya tahu "pengobatan alternatif" seperti itu. Jauh-jauh hari, semenjak kecil saya sudah tahu tradisi memintakan air doa dari para kiai tertentu, dan menjadi kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat. Nah, salah satu kiai yang seringkali diminta air doanya adalah Gus Muwafiq.

 

Pada waktu sowan di kediamannya dengan anak-anak muda NU beberapa tahun lalu, saya juga mendapati serombongan keluarga dari Jakarta yang meminta air doa untuk anggota keluarganya yang konon kerasukan makhluk halus. Namun untuk masalah ini, karena sang anak tak dibawa, Gus Muwafiq belum bisa "online" mendeteksi apa-apanya. Beliau meminta mengirimkan potongan rambut atau air bekas cucian kepadanya.

 

Ada juga, sebuah keluarga yang membawa anaknya yang dianggap linglung. Gus Muwafiq, dengan tangannya, memijat sang anak yang sudah menginjak usia remaja. Menurut kiai yang sering berceramah tentang sejarah itu, sang anak tak ada masalah apa-apa, hanya dari sisi mental kadang ia minder. Gus Muwafiq pun memotivasi sang anak agar tetap teguh dalam menjalani hidup. Dari sisi kesehatan, khusus untuk anak tersebut, beliau meminta untuk mengurangi mengonsumsi daging ayam.

 

Begitulah, seorang kiai yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Ia tidak hanya menyampaikan ajaran agama, tetapi juga turut memberikan solusi kepada masyarakat yang datang kepadanya dengan membawa pelbagai problem (masalah) hidup nyata yang dihadapi sehari-hari.

 

Dalam kaitannya dengan air doa ini, dalam suatu ceramahnya, Gus Muwafiq pernah menjelaskan perbedaan air yang dibacakan doa dengan yang tidak. "Flash disk saja bisa menyimpan file, masak air tidak bisa menyimpan doa?," ungkapnya, memberi logika.

 

Kiai Gondrong ini juga pernah menjelaskan doa sebelum makan: "Allaahumma baarik lana..." dan seterusnya, yang menggunakan kata ganti kita, bukan aku. Lana, bukan li. Hal ini, menurutnya, karena makanan yang tersaji itu melibatkan tangan banyak orang.

 

Dengan makanan atau minuman diberi doa, maka statusnya sudah berubah, menjadi makanan atau minuman berkah. Hal ini pernah saya ulas dalam tulisan: Mengapa Makanan Bisa Barokah? Ini Penjelasan Kiai Muwafiq yang, menurut Gus Muwafiq, dasarnya memang dari perilaku Nabi dan Sahabat.

 

Melalui tulisan ini, saya ingin berterima kasih kepada Gus Muwafiq yang telah memberi "air doa" kepada Nenek saya – yang dengan perantaranya – Allah SWT memberikan kesembuhan kepada Nenek saya, dan juga mungkin pada banyak orang yang pernah dibantu melalui doanya. Semoga, di tengah tantangan jaman yang serba carut-marut ini, Allah SWT memberikan perlindungan kepada beliau, dan juga kepada para ulama yang senantiasa ngemong masyarakat. Amin.

 

Ahmad Naufa Khoirul Faizun, kader muda NU, tinggal di Purworejo, Jawa Tengah.