Opini

Alasan Lima Hari Sekolah Perlu Dibatalkan

Sab, 8 Juli 2017 | 00:00 WIB

Alasan Lima Hari Sekolah Perlu Dibatalkan

Ilustrasi. (dok. thejakartapost)

Oleh Waliyadin

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 mengenai lima hari sekolah atau yang sering disebut Full Day School menuai banyak penolakan dari masyarakat. Secara umum penolakan tersebut dikarenakan ini akan mengganggu kelangsungan lembaga pendidikan non-formal keagamaan seperti Madrasah Diniyah, Taman Pendidikan Qur'an dan juga bisa memberatkan siswa karena harus bersekolah sejak sekitar pukul 07.00 sampai 15.00.

Kendatipun peraturan ini memiliki tujuan baik, banyak soal-soal teknis yang merepotkan dalam pelaksanaannya. Pengalaman penulis, ketika mengajar sampe sore maka banyak pekerjaan di luar sekolah yang terbengkalai. Mengingat ketika itu penulis masih guru honorer yang belum bersertifikat dan harus mencari penghasilan di luar sekolah seperti menjadi guru privat.
 
Kebijakan sekolah seharian akan sangat mengena bila diterapkan di lembaga pendidikan yang terintegrasi dengan pondok atau sekolah asrama. Namun, tidak mungkin semua sekolah dijadikan boarding school.

Alasan menteri pendidikan untuk mempermudah guru bisa mendapatkan tunjangan fungsional karena mensyaratkan guru memiliki 24 jam perminggu kurang dapat diterima. Bukankah beban guru dalam mengajar sudah terlampau banyak.
 
Bayangkan saja tugas guru tidak hanya menyampaikan pelajaran tatap muka di kelas tetapi juga membuat persiapan bahan ajar dan juga metode yang menyenangkan dan bermakna serta membuat penilaian baik itu pekerjaan rumah atau ulangan harian atau semesteran. Jika jam diluar tatap muka dihitung maka semua guru sudah bisa mencapai 24 jam. Nyatanya, yang dihitung jam tatap muka di kelas saja.

Selain itu, kebijakan sekolah lima hari akan memberikan kelonggaran bagi mereka untuk memanfaatkan dua hari libur untuk kegiatan yang kontraproduktif misalnya saja bermain game online atau pergi jalan-jalan ke tempat hiburan tanpa pengawasan orang tua. Penulis katakan seperti itu karena kerap kali dijumpai anak sekolah berkeliaran di pusat perbelanjaan pada jam sekolah apalagi di hari libur panjang.
 
Bukannya mereka manfaatkan waktu luang untuk belajar namun sebaliknya mereka gunakan untuk hura-hura. Penulis berpendapat bahwa kementrian pendidikan dan kebudayaan perlu memperhatikan ekses buruk dari kebijakan Full Day School tersebut.

Lagi pula, siswa yang berada di desa, selain bersekolah mereka juga memiliki tanggung jawab untuk membantu pekerjaan orang tuanya seperti bekerja di sawah atau berdagang. Penulis berfikir pengalaman itu lebih dari sekedar pendidikan karakter yang dikonsepsikan Mendikbud.
 
Jelas-jelas mereka belajar karakter menjadi orang yang tekun dan berbakti kepada orang tua tanpa harus mengukuti jam tambahan pembinaan karakter di sekolah. Mereka sudah secara langsung dibentuk karakternya oleh lingkungan mereka tinggal.

Hal yang mendesak dilakukan sebenarnya adalah memastikan kegiatan belajar di sekolah menjadi kegiatan belajar yang menyenangkan dan menyinggung langsung tujuan pendidikan yang berguna bagi kehidupan siswa kelak.
 
Selama ini, pendidikan cenderung pada tujuan akademik semata. Sementara tujuan yang mengarah pada perkembangan keterampilan hidup, ahlak dan budi pekerti semakin melemah bukan karena tidak ada kurikulumnya tetapi karena ketidakmampuan untuk menerapkan kurikulum yang terlalu abstrak.
 
Lagi pula, penguatan karakter tidak mungkin dipasrahkan kepada sekolah saja namun membutuhkan peran orang tua. Orang tua menjadi mitra sekolah untuk menguatkan karakter anak karena melalui mereka karakter anak mulai terbentuk.
 
Anak dengan kemampuan meniru yang super canggih mengamati kemudian meniru apa yang orang tua lakukan jika orang tua memberikan teladan baik maka si anak pun akan menirunya. Oleh karena itu, penerapan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah yang mengatur sekolah 8 jam sehari selama 5 hari dan kabarnya akan diperkuat Peraturan Presiden perlu dikaji ulang.

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Program Doktoral University of Canberra, Australia.