Opini

Antara Piagam Madinah, Piagam Jakarta, dan Pancasila

Sen, 22 Juni 2020 | 14:00 WIB

Antara Piagam Madinah, Piagam Jakarta, dan Pancasila

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Di antara isi Piagam Jakarta ialah “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”. Hal itu menuai kontroversi ketika dasar negara dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 hendak disahkan pada 17 Agustus 1945.


Kontroversi tersebut awalnya disampaikan oleh Mohammad Hatta yang mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tersebut tidak diubah esensinya.


Kalimat itu bagian dari kesepakatan yang disusun oleh Panitia Sembilan, bentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kesepakatan tersebut ditandatangani pada 22 Juni 1945 dan dikenal sebagai Piagam Jakarta. Tujuh kata itu sensitif dan berpotensi mendiskriminasi orang-orang Indonesia non-Muslim.


Perjuangan mengubah bunyi Piagam Jakarta tersebut dilalui dengan persengketaan yang pelik. Terutama ketika harus meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah yang saat itu cukup keras mendukung bunyi Piagam Jakarta itu.


Bunyi Piagam Jakarta dapat diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” setelah Mohammad Hatta mengadakan pertemuan atau rapat terbatas dengan KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Tengku Hasan dari Sumatera. Meski alot, setelah rapat selama 15 menit, tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dihapus.


Alasan dominan untuk menghapus bunyi Piagam Jakarta itu ialah Republik Indonesia harus berdiri dengan menyertakawan kawasan Indonesia timur. Apalagi saat itu bangsa Indonesia masih berjibaku melepaskan diri dari penjajahan. Sehingga perjuangan harus menyertakan seluruh elemen bangsa dari berbagai suku dan agama di Indonesia.


Sementara itu, mengungkapkan konsensus kebangsaan, yaitu Piagam Madinah secara historis penting untuk mengembalikan ingatan umat Islam bahwa dahulu Nabi Muhammad menyusun dasar negara berdasarkan kesepakatan seluruh warga bangsa. Lantas seperti apa korelasinya dengan Pancasila? Di sini Nabi Muhammad memberikan inspirasi bagi aktivis Islam dan ulama Indonesia dalam menyusun dasar negara.


Madinah kala itu memang berkembang menjadi kawasan yang majemuk atau pluralistik. Konsensus atau kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) berdasarkan asas keadilan untuk semua bangsa, baik Muslim, Yahudi, Nasrani, kabilah, dan suku-suku yang hidup di Madinah.


Sejumlah alasan ilmiah dan alamiah penyusunan Piagam Madinah ialah pertama faktor universal, yaitu mengokohkan kemuliaan kemanusiaan (karomah insaniyyah). Kedua, faktor-faktor lokal, yaitu kemajemukan, kecenderungan bertanah air, dan semangat toleransi keagamaan dan kemanusiaan.


Piagam Madinah berisi 47 pasal. Ia merupakan supremasi perjanjian negara pertama dalam sejarah Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad. Dengan kata lain, Nabi SAW mendirikan Darul Mistaq, negara kesepakatan antarkelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda.


Jadi jika dihubungkan dengan pembentukan dasar negara di Indonesia, para ulama seperti KH Wahid Hasyim, dan lain-lain sudah tepat dalam meneladani Nabi karena melahirkan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan.


Karena sistem pemerintahan yang menempuh jejak kenabian ialah berdasarkan kebersamaan dan keadilan bagi semua bangsa dalam perjanjian dan kesepakatan yang termaktub dalam 47 pasal Piagam Madinah  untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama.

 
Mitsaq al-Madinah menjadi bukti otentik dalam sejarah peradaban Islam bahwa negara pertama yang didirikan Nabi Muhammad SAW ialah negara Madinah, negara kesepakatan atau perjanjian (Darul Mitsaq), bukan negara Islam, bukan daulah Islamiyah atau khilafah dalam pandangan kelompok Hizbut Tahrir dan ISIS.


Dengan demikian, tidak otomatis khilafah ISIS atau kampanye khilafah Hizbut Tahrir adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Karena justru yang dilakukan kelompok ISIS mencederai nilai-nilai ajaran Islam yang menjunjung tinggi kasih sayang terhadap sesama. Mereka mengangkat senjata, menumpahkan darah, dan tidak segan-segan membantai kelompok mana pun yang berbeda pandangan serta tidak mengikuti daulah yang ingin didirikannya.


Begitu juga dengan khilafah yang terus didengungkan oleh Hizbut Tahrir. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kelompok Hizbut Tahrir justru ingin mengubah dasar negara dengan menolak Pancasila dan segala sistemnya. Layaknya Piagam Madinah, Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang disepakati oleh para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia.


Para pendiri bangsa di antaranya terdiri dari para ulama dan aktivis Islam. Mereka paham agama dan fiqih siyasah sehingga negara berdasarkan Pancasila tidak menyalahi syariat Islam. Justru syariat dan nilai-nilai Islam menjadi jiwa bagi Pancasila. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial merupakan nilai-nilai universal Islam yang terkandung dalam Pancasila.


Jika khilafah ‘ala minhajin nubuwwah diterjemahkan sebagai sistem pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian, Indonesia merupakan negara yang mempraktikkannya. Ukurannya bisa dilihat bahwa Nabi Muhammad mendirikan negara kesepakatan (Darul Mitsaq) bersama umat beragama, suku, dan kabilah-kabilah di Madinah berdasarkan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).


Serupa, Indonesia juga mempunyai konsensus kebangsaan atau kesepakatan seluruh bangsa yang mendiami tanah air Republik Indonesia yaitu Pancasila. Seluruh bangsa yang ada di dalamnya, tak terkecuali, dilindungi oleh negara selama mereka tidak melanggar kesepakatan dan tidak melanggar hukum yang berlaku secara norma, etika, dan legal.


Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud membandingkan atau menyamakan antara produk kesepakatan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah dengan para ulama Indoensia dalam Pancasila. Ulama Indonesia hanya mengambil inspirasi dari praktik pendirian negara Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.


Di sini, Nabi hanya memberikan inspirasi kepada umat Islam bagaimana membangun sistem pemerintahan Islami berdasarkan kesepakatan bersama warga bangsa. Walau demikian, Islam tetap menjiwai praktik kepemimpinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad kala itu.


Sistem pemerintahan berkembang pasca Nabi Muhammad wafat. Rasulullah mengembangkan negara berdasarkan kesepakatan dan perjanjian di Madinah. Nabi memimpin umat untuk berkomitmen dalam kebersamaan yang diatur dalam Piagam Madinah. Namun, Nabi sendiri tidak pernah menetapkan aturan baku soal bentuk negara. Tetapi bentuk pemerintahan di Madinah menjadi inspirasi.


Daulah Islamiyah memang pernah berkembang setelah era Khulafaur Rasyidin. Namun hal itu sebatas pengembangan sistem pemerintahan umat Islam. Sedangkan Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mendirikan negara Islam, daulah Islamiyah, kekhalifahan Islam. Nabi SAW mendirikan negara setelah hijrah ke Yatsrib. Dengan kata lain, Nabi Muhammad hanya mendirikan negara Madinah berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang termaktub dalam Piagam Madinah.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online