Nasional

Kesalahan Pandangan dalam RUU HIP Menurut Ketum ISNU

Kam, 18 Juni 2020 | 10:00 WIB

Kesalahan Pandangan dalam RUU HIP Menurut Ketum ISNU

Ketum PP ISNU Ali Masykur Musa dalam sebuah diskusi panel beberapa waktu lalu. (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)

Jakarta, NU Online
Diskusi Panel Ahli Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) bertema ‘Memperkokoh Ideologi Pancasila di Tengah Perubahan Dunia’ banyak menyoroti sejumlah kesalahan pandangan kenegaraan dan keagamaan dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).


Sebagai salah satu narasumber, Ketua Umum PP ISNU Ali Masykur Musa berpendapat bahwa RUU HIP jika ditetapkan menjadi UU jelas akan menghilangkan ruh ketuhanan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


Cak Ali, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa Pancasila tidak bisa diperas menjadi Trisila. Apalagi Ekasila, sebagaimana dirumuskan dalam RUU HIP Pasal 6 (1) dan Pasal 7. “Itu sungguh menghilangkan makna Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai esensi ruh agama dan nilai Ketuhanan,” tandasnya dalam Webinar melalui virtual Zoom Meeting, Kamis (18/6).


Bagi Indonesia, lanjut dia, Pancasila sebagai perjanjian agung (ميثاقا غليظا) tersusun dari lima sila yang memuat nilai-nilai luhur yang saling menjiwai, di mana sila Ketuhanan menjiwai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Kesatuan nilai-nilai Pancasila yang saling menjiwai itu tidak bisa diperas lagi menjadi trisila atau ekasila.


“Upaya memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila akan merusak kedudukan Pancasila, baik sebagai Philosophische Grondslag (falsafah dasar) maupun Staats Fundamental Norm (hukum dasar) yang telah ditetapkan pada 18 Agustus 1945,” papar Ketua Umum PB PMII periode 1991-1994 ini.


Menurut Cak Ali, Pancasila sebagai staats fundamental norm adalah hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai hukum tertinggi yang lahir dari konsensus kebangsaan (معاهدة وطنية), Pancasila tidak bisa diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.


Pengaturan Pancasila ke dalam sebuah undang-undang, lanjut dia, akan menimbulkan anarki dan kekacauan sistem ketatanegaraan. Biarkan Pancasila dan sudah sangat tepat jika maqam-nya tetap pada Pembukaan UUD NRI 1945 yang semua komponen bangsa ini bersepakat tidak akan mengubahnya. Karena bisa diartikan bahwa mengubah Pembukaan UUD NRI 1945 sama saja membubarkan NKRI.


Pandangan tersebut, Cak Ali kutip dari KH Ahmad Shiddiq pada Munas Alim Ulama di Situbondo pada 1983: Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan Keesaan Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid. Karena itu NKRI adalah sah dilihat dari pandangan Islam, sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya.


Pandangan KH Ahmad Shidiq tersebut oleh NU dikukuhkan dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo Jawa Timur 1984 silam, yang menetapkan Deklarasi Hubungan Pancasila dengan Islam. Khususnya, pada poin (ii) Sila ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan Tauhid menurut pengertian keimanan dalam islam; dan point (iv) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.


Menurut dia, Sila Pertama dalam pandangan Islam disebut Keimanan dan Ketauhidan, dan Sila-sila berikutnya merupakan pelaksanaan amal saleh dalam kehidupan bernegara. “Jadi, antara Iman dan Tauhid, amaanu dengan amilussholihati tidak dapat dipisahkan,” tegasnya.


Bagi pria asal Tulungagung ini, memeras Pancasila sangat berbahaya karena menghilangkan ruh ketuhanan dalam kehidupan bernegara. “Karena itu, saya meminta untuk mencabut RUU HIP yang akan melahirkan keresahan sosial,” pungkasnya. (*)


Editor: Musthofa Asrori